BAB XXVI Suku Wairoko

13 7 5
                                    

Seekor merpati mendarat dengan tenang di atas sebuah ranjang. Melihat sang pria yang masih terlelap ia lantas mengeluarkan suara, seakan berusaha membangunkan pria yang masih berkelana di alam mimpi.

Pria itu menggeliat. Ia mengusap kedua matanya sebelum mendongakkan kepala menatap merpati cantik itu.

"Kali ini kabar apa yang kau bawa, Cip?" ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Pria itu mengambil gulungan kertas yang terikat di kaki sang burung. Ia terperangah tatkala membaca siratan tinta yang tertulis pada kertas itu. Di detik berikutnya senyuman miring mulai terlihat, "Ah . . . sudah ketemu. Percuma saja kau melindunginya. Aku pasti tetap membunuhnya."

Pria itu menyobek gulungan kertas hingga menjadi serpihan kecil. Tatapan remeh tersorot dari mata indahnya, "Tidak sia-sia aku memberinya makanan hari itu. Dia benar-benar mengabdi untukku."

Pria itu membelai lembut sang merpati, "Kembalilah, Cip. Aku akan mengurus hal ini."

Sang merpati pun pergi. Tatapan licik dan seringai mengerikan semakin terlihat jelas di wajah sang pria.

"Ayah pasti gembira mendengar hal ini."

***

Ettan menghentikan kudanya, menatap jembatan kayu yang menjadi penghubung kedua hutan. Matanya memicing, menelisik setiap sudut pepohonan besar dan rindang itu.

"Ayo, kita harus mencari tempat beristirahat sebelum gelap."

Pria itu kembali menjalankan kudanya menyeberangi jembatan yang cukup panjang. Langkah kaki sang kuda yang begitu tenang membuat Ettan menatap air jernih yang mengalir di bawahnya. Tidak ada ikan atau binatang lain yang menghiasi sungai, hanya ada batuan cantik yang berkilau akibat pantulan cahaya sang mentari.

Berbagai ornamen menggantung, menghiasi hampir setiap pohon yang ada. Gantungan bambu yang terpajang pun berbunyi diterpa angin. Beberapa batu dan pohon berukuran besar dilukis dengan warna putih, tetapi ada satu pohon yang berhasil menyita perhatian Ettan.

Pemuda itu mengangkat tangannya, memberi perintah mereka untuk berhenti. Perlahan Ettan turun dari kuda hitamnya. Ia menatap takjub rumah pohon yang tampak megah dibangun di atas pohon besar itu. Merasa penasaran ia lantas pergi mengitari sang pohon.

Ettan terdiam. Sulit dipercaya ia melihat sebuah desa yang dibangun di atas sebuah pohon. Sejauh mata Ettan memandang, ia tidak menemukan satu pun bangunan yang dibangun di atas tanah. Jembatan gantung terbentang menghubungkan setiap pohon layaknya jalan di perkotaan. Masyarakat desa juga terlihat sibuk berlalu lalang menjalankan aktivitasnya. Desa itu bagaikan desa pada sebuah cerita dongeng.

"Wahhh . . . Bagaimana bisa mereka membuat seluruh pemukiman melayang seperti ini?" ucap Orion kagum.

"Ck . . . Apa kau belum pernah melihat rumah pohon?" tanya Gyan mendapat gelengan dari Orion.

"Pantas saja kau sangat kampungan!" sahut Loka.

"Hei!! Berani sekali kau menghinaku! Memangnya kau sudah pernah melihat desa yang melayang seperti?!" Loka terdiam. Ia memalingkan wajahnya tanpa ada keinginan untuk meminta maaf.

"Permisi, apa tuan-tuan dan nona tersesat?" tanya seorang wanita yang entah dari mana datangnya.

Mereka terdiam, menatap sang wanita tanpa membuka suara. Wanita itu memiliki paras yang cantik meskipun kulitnya berwarna gelap. Hiasan bunga terlihat melingkari kepala dan leher wanita itu, membuatnya terlihat begitu anggun. Wajahnya juga dihias oleh berbagai motif dengan cat berwarna putih.

Ettan tersenyum menatap wanita cantik itu. "Kami sedang dalam perjalanan dan mencari tempat untuk beristirahat," jawab Ettan.

"Kalau begitu mari ikut saya. Saya akan mengantarkan kalian menuju penginapan paman," ujar sang wanita ramah.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang