Ada milyaran manusia dimuka bumi ini namun kenapa mas Amru berteman dengan Akmal. Hal yang paling tidak terduga lagi, bahwa mereka sefrekuensi.
Arghh! Menyebalkan!
Dua spesies yang sama-sama suka taekwondo dan ambis ternyata mereka se-nyambung itu waktu ngobrol. Aku saja bak makhluk tak kasat mata waktu mereka mengobrol. Sampai akhirnya aku menelpon ibu untuk menyuruh mas Amru pulang dan menyudahi obrolan mereka.
Esok paginya pembahasan mengenai Akmal masih tetap berlanjut.
"Ta," panggil mas Amru sembari menarik kursi dan duduk, bergabung di meja makan bersama aku dan ayah untuk sarapan.
"Minta nomernya Akmal, dong." Dih, tumben ini orang bicaranya baik. Biasanya suka jahilin aku sampe aku nangis. Baru deh dia merasa puas. Emang kalau ngerusuhin adik tuh kelakuan wajib kakak, ya.
"Nggak ada. Aku nggak punya," jawabku malas lalu beranjak ke wastafel, mencuci piring lalu mencuci tangan.
"Masa temen sekelas sendiri nggak punya nomernya? Kuper banget sih." Mas Amru meledek. "Kirain kalian akrab."
Heh! Bisa-bisanya mas Amru bilang aku dan Akmal akrab. Dari bagian mana kami terlihat akrab?
"Kemarin kenapa nggak minta, Mas?" tanyaku.
Mas Amru nyengir. "Asik ngobrol sampai kelupaan."
"Minta aja sendiri. Sekarang mas Amru antar jemput aku sampai motorku dikembaliin dari kantor polisi. Setiap hari pasti ketemu Akmal. Janjian aja di gerbang atau nggak pos satpam."
"Akmal siapa, Mas?" Ayah menyahut.
Beliau memang agak sensitif soal lelaki untuk anak perempuannya. Sebelumnya, kakak pertamaku—mbak Winda—menikah saat berumur 26 tahun usai menempuh pendidikan S2 dan bekerja freelance. Sekarang dia mengurus bayinya yang baru lahir setahun lalu dan ikut suaminya dinas sebagai tentara di Mojokerto.
Semua lelaki yang datang ke rumah selalu diwawancarai ayah. Bahkan tukang kurir langgananku pun ayah tahu biografinya
Mas Amru menimpali, "Temenku dulu waktu latihan taekwondo. Yang sering juara itu loh, Yah. Sekarang dia satu sekolah sama Zeta. Mana satu kelas lagi."
Wajah ayah langsung semringah. "Anaknya bu Berta? Yang pinter itu?"
Ibu dari meja pantry datang membawa dua kotak bekal. "Tuh, kan Ayah masih ingat. Anak laki-laki yang dulunya sering tanding taekwondo sama Amru udah gede sekarang. Tambah ganteng."
Ayah mengangguk sambil tertawa. "Ajak main ke sini ya, Ru. Ayah pengen adu panco sama dia."
Mas Amru mengangkat dua jempol tangan dan tersenyum lebar.
"Udah-udah, ayo berangkat! Mas Amru, ayo buruan!" Aku menginstruksi.
Aku menyalimi ayah kemudian ibu. Saat ibu memberikan bekal aku terheran "Kenapa bekalnya dua, Bu? Satu aja cukup kok."
"Satunya buat Akmal. Kasih ke dia, ya." Ibu sangat berbinar mengatakannya.
"Jangan lupa minta nomernya Akmal, Ta. Kalau perlu minta account instagram sekalian," imbuh mas Amru.
Bahuku lemas, diikuti helaan napas panjang dan rengekan.
"Udah jangan cemberut gitu. Kalau nggak mau minta nomer sama ngasih bekal biar Mas aja yang kasih."
Suara mas Amru masih terdengar jelas di antara riuhnya kendaraan di kota pahlawan. Mataku menyusuri jalanan yang merayap padat. Menelisik sudut persudut dan meromantisasi segala hal yang ada di sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine
SpiritualPernah mendengar atau membaca Qs. Al Isra' ayat 32? Dalil itu seperti perisai bagi seorang Zetadira Tazkiya di tengah banyaknya pemuda pemudi di zaman ini yang mengikat hubungan tabu berlandaskan cinta. Sampai suatu ketika, Akmal Faris Abhicandra me...