Prolog

16 1 0
                                    

Kalau kau ditanya, 'Kau mau menjadi apa kelak?', apa yang akan kau jawab? Sewaktu SD, aku ingin sekali menjadi pemadam kebakaran – kau tahu, dulu aku merasa petugas pemadam kebakaran itu tampak gagah dengan seragam dan mobil penyemprot air mereka. Saat aku mulai menginjak jenjang SMP, aku ingin menjadi seorang pengacara. Bayaran lumayan menjanjikan untuk menanggung kehidupanku hanya dengan membela klienku, terlepas dari fakta apakah aku membela orang yang benar atau tidak. Lalu, saat SMA...

Kulihat angket yang berada di atas mejaku. Angket tentang pandangan murid ke depannya, termasuk keinginan murid untuk menekuni profesi apa setelah terjun ke masyarakat nantinya. Tiap kolomnya masih putih polos. Tidak ada satupun goresan pena di atasnya. Aku menyisirkan poniku ke belakang kemudian menoleh keluar jendela.

Apa...yang ingin kulakukan di masa depan?

Wali kelasku menepukkan kedua tangannya, "Baiklah, semuanya sudah menerima angketnya?"

"Ya!" jawab semua teman sekelasku.

"Bagus. Ibu harap angket ini tidak hilang hingga akhir kelas satu nanti. Pikirkan baik-baik pilihan kalian!" ucap guruku menegaskan sambil mulai mengemaskan barang bawaannya.

"Baiklah, saya rasa hanya itu saja," ucapnya sambil mengapit tasnya, "sampai bertemu di pertemuan selanjutnya." Kemudian guru itu berjalan keluar kelas. Bersamaan dengan itu, suara bel pulang terdengar menggema.

Aku menatap tajam angket yang sama sekali belum kusentuh itu, berharap sekumpulan tulisan tertulis disana agar aku tidak repot-repot mengisinya. Aku tahu ini adalah hal yang konyol. Setelah puas memperhatikan hamparan kertas putih itu, aku akhirnya melipat kertas angket itu menjadi kecil dan memasukannya ke saku bajuku. Meski begitu, tulisan di atas kertas itu masih melayang-layang di kepalaku. Apa yang ingin kulakukan di masa depan? Apa yang harus kulakukan dengan semua kemampuan yang aku miliki? Hal apa yang pas sekali bagiku untuk aku kerjakan?

"...Ein....EIN!"

Aku tersadar dari lamunanku. Entah sejak kapan aku sudah menjinjing tasku ke arah gedung baru sekolah. Kutundukan sedikit kepalaku untuk melihat siapa yang memanggilku barusan. Seorang gadis, dengan tubuh yang agak lebih pendek dariku. Rambut coklat yang diikat ke samping melewati bahu kirinya. Sebuah kacamata setengah lingkaran terlihat bertengger diwajahnya. Ya, tidak salah lagi.

"Ah, maaf Emi, aku tidak dengar. Apa yang kau bilang tadi?"

Ia memanyunkan bibirnya, "Huh, setiap kali aku mengajakmu bicara, kau selalu begitu. Apa kau sengaja mengacuhkanku?"

"Hmm," aku berdeham, "mungkin saja, bisa jadi begitu."

Tentu saja, aku hanya bercanda. Mana mungkin aku berbicara jujur dan mengatakan kalau angket yang barusan dibagikan mengganggu pikiranku. Lagipula, melihat ekspresinya yang terlihat benar-benar percaya dengan perkataanku cukup menarik untuk dilihat.

"Uh, Ein," gumamnya sambil terlihat meringis, "seperti biasa, kata-katamu terlalu jujur."

Aku tersenyum tipis melihat tingkahnya. Kalau dulu, mungkin aku akan menjauhi tipe murid dengan reaksi berlebihan sepertinya – sebenarnya, sekarang aku juga masih seperti itu, tapi entah kenapa, hanya Emi yang tidak bisa kujauhi. Dari semua orang yang kukenal memiliki tingkah seperti dia, hanya Emi yang terasa natural. Emosi yangdirasakannya ia tunjukkan secara apa adanya, sama sekali tidak dibuat-buat. Mungkin karena itu pula, ia bisa-bisanya membuat satu klub yang tidak jelas di sekolah ini – sebuah klub yang hingga saat ini membuatku masih bertanya-tanya tentang apa sebenarnya kegiatan yang harus dilakukan dalam klub ini.

"Jadi, ketua," ucapku pada gadis berkacamata itu, "apa kegiatan kita hari ini?"

"Tsk, tsk, tsk," Emi menggoyangkan jari telunjuk kirinya, "kau menanyakan pertanyaan yang salah, Ein."

Setelah mengatakan itu, Ia berlari melewati sebarisan sepeda murid kemudian berbelok ke kanan, berlari kearah sebuah pohon besar kebanggaan sekolah kami yang terletak di halaman tengah gedung baru sekolah. Ia kemudian berjingkrak beberapa kali, membuat rambutnya yang ia ikat itu mengikuti arah gerakannya, kemudian melompat ke atas bangku yang ada di bawah pohon itu, wajahnya terlihat cerah seperti biasanya.

"Ein." katanya sambil menengadah melihat pohon besar itu dengan kedua tangan terlipat di belakang. Sinar matahari siang yang berhasil menerobos masuk diantara daun-daunnya membuat tempat itu seakan dipenuhi oleh warna hijau. Ia kemudian membalikkan badannya menghadapku, sebuah senyum terukir di wajahnya, dengan salah satu tangannya terulur kearahku.

"Akan jadi apa kita hari ini?"

Aku tersenyum. Tentu saja aku seharusnya menanyakan hal itu. Saat SD, aku ingin menjadi pemadam kebarakaran – keberanian dan kegagahan profesi ini menarik jiwa kecilku. Saat SMP, aku ingin menjadi pengacara – meski tidak segagah pemadam kebakaran, aku bisa memastikan kualitas hidupku. Lalu, saat SMA...Aku sama sekali belum memiliki pandangan untuk menjadi apa di masa yang akan datang. Tapi, saat kulihat wajah Emi...entah kenapa aku menjadi yakin tentang solusi bagi masalahku. Kertas angket di dalam sakuku sudah tidak ada dalam pikiranku lagi. Malah, sebuah pikiran menggantikan kebimbanganku yang sebelumnya.

'Kurasa...ia bisa memberiku jawaban yang selama ini kucari.'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You Can Be AnythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang