04.30
Alarm berbunyi membangunkan subuh yang gelap. Sebuah tangan meraih ponsel yang terbaring di atas nakas. Sementara tubuhnya masih nyenyak dalam pelukan.
Bibirnya terbuka namun matanya tetap terpejam. "Subuh yuk!"
Hanya hening yang ia dapat. Dia mencoba mengurai pandangannya yang buram. Suaminya masih terlelap. Pria itu selalu saja menjadi objek pemandangan paginya. Ini adalah ritual rahasia setiap kali ia terjaga lebih dulu.
Lima menit berlalu namun dia tetap tidak mau pergi dari wajah suaminya. Rasanya seperti mimpi berdua di atas kasur bersamanya seperti ini.
Dahulu dia berkeinginan untuk menikah muda, namun saat ada lelaki yang mendekati, dia malah menghindari. Sakina bilang, mungkin karena sosok yang mendekat itu bukanlah yang dia sukai. Ucapan Sakina membuatnya sadar, bahwa jauh di lubuk hatinya, dia masih setia menunggu sebuah nama yang sejak lama diinginkan kedatangannya dengan penuh cinta.
"Jacob bangun! Nanti kita telat pergi ke gedung. Hari ini Sakina nikah loh." Tangannya mulai usil mencubit hidung mancung Jacob.
"Lu wudhu duluan aja, Zalia ... nanti gue nyusul," Jacob menyingkirkan tangan istrinya itu dari hidungnya dan mengurung dirinya di balik selimut agar tidak diganggu.
Zalia beranjak dari kasur menuju kamar mandi dan membiarkan Jacob untuk tidur beberapa menit lagi. Dia membasuh bagian-bagian tubuhnya dengan air yang mengalir dingin. Setelah selesai dia langsung keluar. Bibir dan giginya gemetar kedinginan.
"Morning!"
Tetiba sebuah kecupan menyosor keningnya. Dia mengerjap kaget.
"Jacob!!!"
"Apa Zalia?"
"Wudhu gue batal!"
"Kok batal? Gue kan cuma cium kening."
"Ya lu dan gue kan bukan mahram. Nanti baca lagi buku Fikih-nya!" Zalia kembali masuk ke kamar mandi untuk berwudhu.
"Astaghfirullah ternyata gue masih banyak PR," Jacob menepuk pelan keningnya.
Tubuh Zalia tambah menggigil setelah keluar dari kamar mandi untuk kedua kalinya. Dilihatnya Jacob yang sedang duduk di atas ranjang menatapnya jail. Benar saja, Jacob menghampirinya dengan tangan yang terjulur.
"Diem gak! Gue kedinginan nih," rutuk Zalia seraya menghindar.
"Biasanya sebelum tidur suka pegang tangan gue," Jacob tertawa mengekor gerak istrinya.
"Jac nanti kita telat!" Zalia menahan tawa sekaligus kesal.
"Ini pegang," Jacob masih terbahak.
Zalia membaca taawuz sembari melempar bantal ke arah Jacob.
"Setan dong gue. Hahaha dasar!"
Jacob menangkapnya dan meletakkan bantal itu di tempat semula. Dia menghentikan kejailannya dan gegas mengambil wudhu untuk salat jamaah di masjid. Tetiba terdengar suara azan yang baru berkumandang.
Tatap Zalia masih berpaut ke Jacob yang sudah menghilang di balik pintu. Ia belum bisa membayangkan bagaimana jika jarak mereka lebih dari sekadar pelukan tadi. Karena untuk bisa sampai di tahap ini saja mereka perlu penyesuaian. Rasanya aneh bin ajaib, tapi menyenangkan.
Waktu melaju-menjemput mentari hingga muncul ke permukaan. Sinarnya sudah dinantikan oleh awan. Sementara langit sudah bersiap menjadi rumah ternyaman untuk mereka menemani dua insan yang akan berikrar suci pagi ini.
Nuansa melayu penuh bunga sudah menghias rapi gedung ini. Sebuah tangan terulur ke hadapan seorang pria untuk menjabatnya dengan lafaz basmalah.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Hafy Rafasya bin Farhan Rafasya dengan anak saya yang bernama Sakina Cintami binti Randi Harsa dengan maskawinnya berupa seperangkat alat salat, tunai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Portrait of Destiny (end)
RomanceBeberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan terlintas di lensa kameranya, dia tidak pernah tahu orang mana yang akan ditakdirkan untuk menjadi...