💙Selamat Membaca💙
Setelah mengabiskan sehari bersama Arman dan Andri, kini saatnya mengantar mereka pulang. Bukan tidak mau berlama-lama, tetapi beban pekerjaan dan kewajiban mereka berdua tidaklah sedikit. Jadi tidak mungkin mereka terlalu menemani Sangaji di tempat ini.
Usai mengatar dua sahabatnya ke stasiun kereta, Aji memutuskan untuk berkeliling sebentar sekedar menikmati suasana baru di kita ini. Mobil perlahan dia lajukan ke arah alun-alun kota. Entah bagaimana kini rupanya, bahkan kapan terakhir ke sana pun lelaki itu sudah lupa.
Tidak ada yang terlalu berkesan di kota ini, kecuali kisah kelam yang pernah dia alami. Masa remaja yang terlalu bebas membuatnya salah jalan dan berakibat fatal jika tidak di jemput paksa oleh Wijaya.
Benar kata Arman tempo hari, enam bulan di sini saja bisa membuatnya masuk rehabilitasi, apalagi kalau sampai lulus sekolah. Bukan tempat ini yang salah, hanya saja di sini Aji malah dipertemukan dengan teman-teman yang sama "nakal"nya dengan dia. Sehingga harapan orang tuanya agak dia bisa berubah malah berbuah petaka.
Memilih duduk di dalam mobil, Aji memperhatikan suasana di alun-alun kota kecil ini. Cukup ramai memang walau tidak seramai di tempat tinggalnya dulu, tetapi jika dibandingkan belasan tahun yang lalu saat dia di sini tentunya sudah jauh berbeda.
Merasa tidak begitu tertarik dengan suasana di sana, Aji melajukan kembali kendaraannya meninggalkan alun-alun menuju kediaman Eyangnya yang kini dia tinggali. Jalanan sedikit lengang saat mobil yang dikendarai Aji sudah jauh meninggalkan pusat kota. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas dari arah berlawanan saja yang dia temui dan didominasi oleh kendaraan besar.
Kurang dari tiga puluh menit, Aji sudah sampai. Saat hendak turun dia baru menyadari jika Pakde Aryo sudah menunggunya di teras. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak hati membuat lelaki sepuh itu menunggu di luar entah sudah berapa lama.
"Assalamualaikum, sudah lama, Pakde?" Begitu sampai Aji langsung menyalami Kakak dari Ibunya.
"Waalikumussalam, belum, Ji. Baru saja Pakde mau nelpon kamu, eh udah pulang," jawab Aryo.
"Saya baru nganter teman ke stasiun, Pakde. Yang ikut nganter ke sini kemaren." Walau Pakdenya tidak bertanya, tetapi Aji menjelaskan.
"Lho, sudah pulang to mereka?" tanya Aryo.
"Sudah, Pakde. Maklum mereka orang sibuk jadi tidak bisa lama-lama cuti. Bagaimana kalau ngobrolnya di dalam saja?" Aji mengajak Pakdenya masuk ke rumah.
"Ndak usah, di sini saja. Lebih adem, Ji," tolak Aryo.
Aji mengangguk kemudian dia menawarkan minum untuk Pakdenya, "Aji buatkan kopi atau teh, Pakde?" tawar lelaki itu
"Kopi saja, gulanya sedikit ya, Ji. Eeh memangnya ada?" Aryo baru ingat kalau Aji baru saja pindah ke sini, dan kemungkinan belum ada apa-apa di dalam.
"Ada Pakde, Pak Tris kemarin sudah belanja pas baru datang. Saya juga kaget lihat dapur sama kulkas sudah penuh sama persediaan." terang Aji.
"Walah, pengertian juga, ya supirmu itu," puji Pakde Aryo.
Sangaji tersenyum, "Paling disuruh sama Ibu. Kalau begitu Aji buatin kopi dulu, ya, Pakde." Setelah mendapat anggukan dari lelaki sepuh yang duduk di depannya, Aji pun melangkah masuk untuk membuat kopi.
Sepuluh menit kemudian Aji keluar membawa dua gelas kopi dan biskuit yang ada di lemari dapur.
"Silakan kopinya, Pakde. Maaf lama nunggu." Aji mempersilakan.
Aryo mengangguk, "Tidak apa-apa, makasih, Ji."
"Pakde datang ke sini pasti ada perlu penting, ya?" Setelah duduk, Aji mulai bertanya karena dia penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Pertama
RomansaSangaji Prasetya seoarang lelaki yang baru saja menghadapi badai rumah tangga mencoba mencari ketenangan dengan pindah ke luar kota dan mengajar di tempat terpencil. Namun sayang, niatnya menyembuhkah luka malah membuka cerita yang sama sekali tidak...