Memangnya siapa yang menginginkan hidup seperti ini?
Setiap hari mendengar kedua orang tuamu bertengkar. Dari mulai masalah besar yang sulit termaafkan, hingga masalah kecil sekalipun. Belum lagi ketika salah satu dari mereka membawa selingkuhan mereka masing-masing ke rumah. Itu menyiksa.
Sebagai anak satu-satunya, gue nggak bisa berbuat apa pun. Kedua orang tua gue dijodohkan, mereka tidak pernah saling mencintai. Lahirnya gue pun hanyalah sebuah syarat agar papa bisa mengambil alih perusahaan kakek. Dan tepat setelah gue lahir, mereka hidup masing-masing, walaupun tinggal di atap yang sama.
Kehidupan gue memang selalu tercukupi sejak kecil. Apa pun yang gue inginkan, sudah pasti papa atau mama memberikannya. Dengan syarat, gue nggak boleh terlalu banyak bicara ke kakek dan nenek soal kehidupan bejat mereka di rumah.
Mereka meminta gue untuk bersandiwara. Bersandiwara seakan-akan gue menjadi sosok anak dari dua sejoli yang saling mencintai.
Gue lelah. Gue terlalu lelah dengan semua ini.
"Fay?" panggil Arghi.
Ah, gue lupa. Gue sedang makan siang di kantin bersama pacar gue, Arghi Setyasa. Kami baru saja berpacaran dua bulan yang lalu. Tapi sebenarnya, gue hanya menerima Arghi karena dia adalah ketua OSIS. Selain itu juga dia pintar, populer, dan jago bermain anggar.
Arghi juga ganteng. Perpaduan tubuh tinggi menjulang, kulit putih, bentuk rahang yang sempurna, juga bibir berwarna merah muda itu menyatu menjadi seseorang yang akan membuat cewek mana pun menyukainya.
Gue mengakui itu. Mengakui bahwa Arghi bukanlah cowok biasa. Dia cowok yang luar biasa, disukai oleh para guru dan disegani oleh para kakak kelas. Arghi juga menjadi idola dikalangan adik-adik kelas yang baru saja masuk ke SMA Pertiwi. Dan gue, yang hanya menjabat sebagai bendahara di OSIS dan hanya memiliki kelebihan di bidang menyanyi, tentu saja tergiur dengan betapa berpengaruhnya Arghi di sekolah.
Gue akan buktikan kepada siapa pun bahwa gue, Fay Izora, pantas menjadi pacar Arghi dan mendapatkan kasih sayang dari cowok luar biasa itu.
"Ya? Kenapa Ghi?" tanya gue, cowok itu menatap gue bingung.
"Kok bengong? Nggak dimakan baksonya?" tanya Arghi, ia kemudian tersenyum dengan manis.
Gue menatap bakso yang tadi gue pesan setelah gue memutuskan untuk menyusul Arghi di kantin karena Bianca enggan berbicara dengan gue. Dan sejak tadi, dibully nya Bianca oleh Ayu Patria dan gengnya membuat gue terus memikirkannya. Sebagai orang yang memiliki peri kemanusiaan, wajar kan, gue kasihan pada Bianca dan ingin menolongnya?
"Hmm... Iya, aku tadi belum laper." Kata gue berbohong.
"Lagi mikirin apa sih? Kok nggak cerita?" Tanya Arghi, yang sepertinya tahu bahwa gue menyembunyikan sesuatu.
Akhirnya, gue memutuskan untuk bercerita soal apa yang gue lihat tadi di halaman belakang sekolah.
"Ghi, kamu bener-bener nggak bisa berbuat sesuatu sama Ayu dan teman-temannya? Lagi-lagi dia ngebully Bianca, aku nggak tega. Gimana pun aku pernah dekat sama Bianca dulu. Aku nggak bisa diam aja."
Arghi menghela napas setelah mendengar ucapan gue barusan, dia kemudian menggeleng. Tanda bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa soal Bianca dan Ayu.
"Itu masalah pribadi Ayu sama Bianca. Aku udah pernah negur Ayu, tapi nggak menghasilkan apa-apa. Dia malah curhat soal kehidupan pribadinya, yang sebetulnya di luar dari jangkauan aku. Aku nggak punya hak."
"Soal apa?" Tanya gue penasaran.
Arghi menggeleng, "Aku nggak punya hak untuk cerita sama siapa pun, termasuk kamu."
Ah, itulah Arghi. Saking sempurnanya, sampai-sampai ia merahasiakan permasalahan pribadi antara Ayu Patria dan juga Bianca. Gue sampai nggak habis pikir, mengapa orang seperti Arghi ada di muka bumi ini. Dia terlalu sempurna untuk jadi seseorang.
Karena notifikasi handphone gue berbunyi, gue pun segera mengambilnya dari saku seragam. Iphone keluaran terbaru ini dengan mudah gue dapatkan dari papa. Harganya dua digit. Mungkin orang tua lain akan berpikir untuk membelikan handphone semahal ini untuk anaknya, namun hal itu tidak berlaku untuk papa gue.
Ingat kan, apa syaratnya?
Gue hanya diminta untuk bersandiwara di depan keluarga besar mama.
Seperti dugaan gue, papa bersikap dermawan hanya karena ingin gue membalasnya dengan sebuah sandiwara.
✨️
Jangan lupa follow aku, vote dan comment ya!
Btw, ini pertama kalinya aku pake POV1 lagi setelah sekian lama nyaman di POV3. Jadi kalau masih agak kaku tolong dimaklumi ya ehehehe.Follow sosmed aku yang lain juga ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Switch
FantasíaWARNING!!! Harsh words, violence, bullying, sexual harrasment, abuse. Yang punya trigger tolong tinggalkan lapak ya! Bagaimana jika kau bisa menukar hidupmu dengan orang lain semudah menurunkan saklar lampu? Selamat datang di kedai ramal Madame G...