Attention : Bahasa daerah yang saya gunakan hanya mengandalkan kemampuan bahasa saya yang tidak fasih. Jika ada kata yang salah penulisan dan penggunaannya, silakan diberitahu agar dapat saya perbaiki, terima kasih.
Surabaya, 2017
Hati saya bersorak gembira saat gerobak biru dipadu merah terang terlihat di depan ruko sana. Gerobak mie ayam langganan kebanyakan orang di daerah ini, dan saya adalah salah satunya. Mie keriting yang kenyal, bumbu yang terasa khas serta kuah kaldu yang disajikan seperti memiliki satu bahan rahasia yang membuat mie ayam yang satu itu menjadi kegemaran banyak orang.
Beruntungnya, saat saya sampai, gerobak itu sepi. Biasanya, saya harus mengantre dengan nomor antrean."Pakde Jek!" sapa saya pada penjual mie ayam itu. Sebenarnya, nama asli beliau adalah Joko, tapi teman-teman masa sekolahnya dulu memanggilnya dengan nama Jek, hingga sampai sekarang nama itu telah menjadi nama panggilan tetap beliau.
"Ealah, Mas e. Tumben Mas e sore-sore."
"Haha, baru pulang, Pakde."
"Woke-woke, piro, Mas?"
"Dua aja, ayam ne seng angkeh, nggih, Pakde."
"Sip, monggo ditunggu."
Saya duduk di salah satu kursi yang tersedia, memilih tempat duduk yang bisa terlihat Pakde Jek meracik mie ayam di depan gerobaknya.
Pakde Jek mengeluarkan dua styrofoam kemasan, melapisinya dengan kertas nasi. Di sampingnya beliau meletakkan dua mangkuk, dan mulai meracik bumbu andalannya di atas mangkuk itu.
Ada kebiasaan unik yang Pakde Jek lakukan saat meracik, ia akan mengikat bagian atas rambutnya yang bewarna hampir sebagian putih ketika selesai memasukan bumbu terakhir."Pakde." Terdengar suara panggilan dari perempuan bersamaan dengan suara mesin motor yang belum dimatikan.
"Nggih, Mbak!" Pakde Jek sedikit mendekat ke arah perempuan yang masih berada di atas motornya itu.
"Mau mie ayamnya satu, tapi saya gak turun, ya, Pakde. Motor saya enggak bisa di starter."
"Oh nggih-nggih, Mbak. Ta' buatkan dulu."
Entah perintah dari mana, secara tak sadar saya yang berada tepat di depannya diam-diam memerhatikan dia. Perempuan dengan rok biru selutut, kemeja putih lengan pendek lengkap dengan sepatu hitam yang sedikit bernoda.
Tatanan rambutnya yang mulai berantakan menjadi objek terakhir yang saya pandangi.Tadi, saya sempat melihat dia tersenyum pada Pakde Jek, manis. Senyuman itu manis sekali mengalahkan manisnya permen yang biasa tersaji di toples warung-warung.
Perempuan manis itu sepertinya tahu bahwa saya memerhatikannya sedari tadi, ia menoleh ke arah saya yang masih fokus pada rambutnya. Saya yang merasa tertangkap basah langsung tersenyum kecil ke arahnya. Ia membalas senyuman saya dengan senyum miliknya yang lebih manis dari sebelumnya.
YOU ARE READING
Ethereal
Подростковая литератураIni hanya kenangan saya dengan dia, yang tidak perlu kalian baca apalagi kalian ingat-ingat.