Bab 2

30 7 9
                                    

Kai membuka mata dengan pelan. Menyesuaikan pandangan dari terangnya lampu neon yang berada tepat menyinari matanya. Perlahan samar-samar dinding putih dan aroma yang sangat familiar terhirup  di indra penciuman Kai. Kai menyadari jika dirinya kembali lagi ke rumah sakit. Ia mengembuskan napas pelan sambil menahan nyeri di bagian perut saat ia mencerup oksigen.

Tangannya terulur menyentuh perut yang makin terasa sakit saat dengan pelan Kai menekan. Kepalanya juga terasa pusing dan ada perban di tangan kanan. Entah separah apa kecelakaan yang terjadi hingga ia sampai tidak sadarkan diri. Pikiran Kai begitu kalut, ia bahkan sampai membahayakan dirinya hanya karena patah hati.

Kai merasa begitu konyol tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang  dirasakan atas perginya wanita yang dicintai. Detak jantungnya bergemuruh setiap mengingat air mata yang menetes dari iris biru Seza. Tatapan sendu Seza yang begitu menyayat hati membuat Kai tidak dapat membela diri. Wanita itu pergi dalam diam tanpa ada bentakan atau pukulan yang Seza berikan padanya. Itu semakin membuat Kai merasa bersalah.

Jika saja Seza berteriak, memaki, menampar atau lebih daripada itu Kai akan menerimanya baru setelah itu ia menjelaskan. Namun, wanita itu hanya membisu dengan deraian air mata. Hal yang membuatnya semakin menderita. Penyesalan terus menghantui Kai hingga ia merasa tidak sanggup lagi menanggungnya.

Derit pintu yang terbuka membuat Kai mengalihkan pandangan. Menatap sosok berambut panjang yang tengah berjalan ke arahnya.

"Kau sudah sadar?" Pertanyaan yang sama seperti beberapa jam lalu Kai dengar. Namun, Kai enggan menjawabnya. Pandangan Kai beralih pada sudut kamar.

"Ada gumpalan darah beku di perut bagian kananmu. Kau harus menjalani beberapa pengobatan untuk menyembuhkan itu. Butuh sekitar dua sampai tiga minggu. Kuharap kau dapat bekerjasama dengan baik." Ucapan itu membuat Kai menatap Kia dengan tajam.

"Apa maksudmu berbicara seperti itu? " Kai langsung membantah ucapan Kia dengan suara pelan tapi dapat menusuk karena tatapan yang diberikan Kai begitu dingin.

"Entahlah, aku hanya merasa kau akan sulit untuk diobati. Mengingat kau kembali ke sini dalam keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya," ucap Kia dengan pandangan yang tertuju pada iris hijau milik Kai. Wanita itu begitu tidak sopan kepada orang yang menjadi pasiennya. Kai hanya bisa menatap tajam Kia.

"Pria yang datang bersamamu mengalami retak tulang bahu bagian kiri. Beruntungnya ia tidak mengalami hal buruk lainnya. Hanya perlu terapi untuk pengobatan." Wanita itu memberitahu kondisi Riko meski tak ada pertanyaan dari Kai. Rasa bersalah semakin menjadi karena ia telah membuat temannya celaka.

"Di mana Riko sekarang?" tanya Kai tanpa mengalihkan pandangannya.

"Dia ada di ruang sebelah." Setelahnya Kia pamit pergi meninggalkan kamar Kai.

Kai menatap kepergian Kia kemudian  menatap langit-langit kamar. Ia mengangkat satu tangannya yang diperban lalu menutup mata sambil menghembuskan napas panjang. Kali ini ia benar-benar bodoh. Lebih bodoh dari sebelumnya dan tidak ada yang dapat dia lakukan saat ini selain memulihkan diri. Pikirannya begitu kacau, hati pun terasa sangat sesak.

Amarah, kecewa, rasa sakit bercampur menjadi satu membuat suatu lubang kecil yang dengan cepat mengoyak seluruh tubuh dan jiwanya. Ia sungguh tak berdaya, nyeri begitu menyerang dada. Menghancurkannya berkeping-keping hingga ia lemah. Tanpa sadar tangan Kai memukul pelan dada yang berdegup cepat menimbulkan ngilu yang semakin menggila.

Kebohongan memang sebuah awal kehancuran. Sekali terucap pasti akan terus menerus melakukannya.
Bak virus mematikan yang siap memakan jiwa jika tidak dicegah dengan segera. Tak ada obat untuknya selain berusaha melepaskan diri dari penyakit itu. Jika sudah terjadi, beribu penjelasan saja tak akan cukup menutupinya. Hati yang telah kecewa akan dengan sendirinya terkunci dan tak akan dapat dibuka kembali.

My Auntumn (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang