VI. Arabelle Caroline

19 1 0
                                    

SMA Ganesha tengah ramai didatangi murid-murid SMA lain. Hari ini ada turnamen basket rutin tahunan yang diadakan beberapa sekolah terdekat. SMA Ganesha menjadi tuan rumah kali ini.

Lapangan basket indoor sekolah itu nampak ramai dipenuhi siswa-siswi dengan berbagai seragam yang berbeda.

Pritt!

Peluit pertanda mulainya pertandingan babak pertama antara SMA Ganesha dan SMA Nusantara telah berbunyi. Penonton bersorak ramai melihat kedua tim mulai saling merebut bola.

Daren nampak bersinar sebagai kapten di tengah lapangan. Lelaki bergelang merah itu menyugar rambut yang menghalangi pandangan. Memperlihatkan keringat yang membasahi keningnya. Membuat para gadis terpekik kagum melihat ketampanannya.

Gelar kapten basket masih menjadi milik Daren meski ia sudah berada di kelas dua belas. Di pertengahan semester nanti ia baru akan kehilangan jabatan itu agar bisa fokus pada ujian.

"DAREENNN SEMANGATT!"

"MY LOVE FIGHTING!"

"GEIST MEIN LIEBES!" (Semangat sayang!)

Arletha memejamkan mata menahan amarah. Pasalnya seorang penonton turnamen basket yang duduk tepat di depannya terus menerus berteriak.

Gadis itu sudah berusaha melindungi gendang telinganya dengan menutup rapat kedua telinga. Tapi usahanya sia-sia. Suara teriakan itu tetap mampu menembus tangannya.

"Berisik banget sih kayak istrinya Tarzan," sungut Arletha di tempatnya.

Mendengar kalimat yang seperti sebuah sindiran, Ara menengok ke belakang. "Lo ngatain gue?!"

"Enggak. Gue ngatain istrinya Tarzan yang baru lewat," jawabnya asal.

Arletha membaca nametag gadis yang tersemat di baju seragamnya.

Arabelle Caroline.

Sebelumnya ia pernah mendengar nama itu. Kata Sarah, dia adalah peraih peringkat satu peminatan bahasa di angkatannya.

Di lain sisi, Ara menelisik penampilan Arletha dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia nampak asing dengan perempuan ini. Padahal mereka mengenakan seragam yang sama.

"Gue tau gue cantik, tapi nggak usah segitunya lo ngeliatin gue," sindir Arletha sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Ara langsung membuang pandangan. "Siapa juga yang liatin lo?!"

Arletha menunjuk Ara dengan dagunya. "Lo barusan."

"Enggak!" elak Ara.

"Iya."

"Enggak."

"Iya."

"Eng–"

Pritt!

"Ra, buruan! Daren udah keluar lapangan," pekik seseorang yang duduk di samping Ara.

Tatapan tajam Ara hunuskan pada Arletha. Tapi bukan Arletha namanya kalau ia takut. Arletha membalas tatapan itu tak kalah tajam.

"Dieses Mal bist du in Sicherheit!" (Lo selamat kali ini!)

Setelah mengatakan itu, Ara pergi dari sana membawa sebotol air mineral yang masih tersegel bersama temannya.

"Ngomong apaan sih?!" kesal Arletha sambil menatap kepergian gadis berambut pirang itu.

"Maklumin aja, Ar. Dia anak bahasa, suka ngomong bahasa asing," ucap Sarah yang duduk di kanan Arletha.

"Nggak usah ladenin dia. Nggak akan ada habisnya ribut sama Ara."

Arletha hanya terdiam mendengar nasihat Clara, hingga pandangannya menangkap Ara yang terlihat mendekati Daren. "Dia pacar Daren?"

Tawa kecil terdengar dari Sarah. "Kan gue udah bilang, Daren nggak pernah punya pacar."

"Kok mereka keliatan deket?" tanya Arletha dengan kening berkerut.

"Ara yang selalu deketin Daren duluan. Lagian Daren juga nggak pernah nolak cewek mana pun yang deketin dia. Tapi nggak pernah nerima sampe jadi pacar juga," jelas Sarah.

Arletha tersenyum miring. "Oh jadi cinta si istrinya Tarzan bertepuk sebelah tangan."

Sarah dan Clara tertawa mendengar nama panggilan baru itu.

"Satu sekolah nyebut dia tuan putri. Cuma lo Ar, yang nyebut dia istrinya Tarzan."

***

"Arabelle!"

Ara menghela napas mendengar suara yang sering menyapa telinganya saat ia melakukan kesalahan. Tatapannya yang fokus ke piring makanannya kini beralih menatap sang ibu yang duduk di seberangnya.

"You know your mistake, right?"

Hanya anggukan pasrah yang bisa Ara tunjukkan pada ibunya sebagai jawaban.

Ara merapatkan kedua kaki dan menegakkan punggung. Lalu tidak seperti sebelumnya, kali ini ia makan secara perlahan.

"Good girl."

Acara makan malam keluarga itu kembali berlanjut setelah sang ibu menegur kesalahan kecil putri tunggalnya.

Ya, kesalahan kecil. Hanya karena Ara yang tidak duduk dengan tegak dan makan terlalu cepat.

Begitulah cara Ara dibesarkan, bak tuan putri dari sebuah kerajaan. Ia harus terlihat anggun dalam segala kondisi. Bahkan saat makan hanya bersama kedua orang tuanya sekalipun. Apalagi kalau ada tamu, sudah pasti Ara harus bersikap lebih anggun lagi.

"Gimana sekolah kamu hari ini?" tanya sang ayah pada Ara.

Baru saja Ara hendak buka mulut untuk menjawab, ibunya sudah lebih dulu menginterupsi.

"Kita lagi makan malam, Pah. Tidak boleh makan sambil mengobrol."

"Hanya obrolan kecil, Mah."

Ibu Ara menatap datar sosok suami yang duduk di sampingnya.

"Kamu terlalu mengatur. Aku yang kepala keluarga di sini, seharusnya aku lebih berhak mengatur." Suasana memanas saat ayah Ara mulai emosi dengan kebiasaan istrinya.

"Sejak dulu, aturan makan itu tidak boleh mengobrol. Tata krama sudah ada aturannya, kamu tidak berhak membuat aturan baru," sahut ibu Ara.

Ara memutar bola matanya malas. Perdebatan semacam ini terus saja terjadi di keluarganya.

"Ekhm!" Gadis itu berdehem untuk menghentikan adu mulut kedua orang tuanya. "Makan tidak boleh mengobrol," sindirnya pada mereka.

Ayah dan ibu Ara saling melempar tatapan tajam sebelum kembali melahap makanannya.

Sejak kecil Ara dibesarkan penuh dengan aturan bak tuan putri oleh ibunya. Gadis itu harus terlihat anggun dan sopan. Sedetail mungkin ia harus menerapkan aturan-aturan mulai dari cara makan hingga cara berjalan. Tidak hanya pada Ara, wanita itu juga sering mengatur suaminya agar mengikuti aturannya.

Sementara sang ayah sudah merasa tidak tahan dengan karakter istrinya. Hal itu seringkali mengundang perdebatan di keluarga Ara. Kalau ditanya mengapa bisa mereka menikah jika tidak cocok, maka jawabannya adalah karena mereka dijodohkan.

Ara sudah cukup terbiasa mendengar perdebatan orang tuanya. Ia tidak terlalu peduli, yang terpenting tidak ada kekerasan selama mereka berdebat. Ara memilih untuk tidak ambil pusing. Lebih baik ia fokus pada masa depannya. Toh kedua orang tuanya sudah memberikan semua fasilitas yang ia butuhkan.

***

Top StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang