"Oh, jadi udah pindah, ya? Enak dong, Ta? Kamu jadi nggak perlu nginep di rumah sakit lagi kalo pulang kemaleman."
Genta menyuarakan sesuatu sebelum menenggak sisa air mineral dari botol berukuran 250ml hingga habis, meremukan botol tersebut, dan berniat membuangnya. Sayangnya, tempat sampah begitu jauh dari jangkauan sehingga dia memilih untuk mengantongi sampah plastik itu ke saku sneli sebelum melanjutkan mencatat hasil follow up pasien tadi pagi di map pribadinya.
"Iya, saya juga nggak nyangka bisa ketemu rumah kontrakan secepat itu dan bisa langsung dihuni. Minggu ini untungnnya saya nggak jaga, jadi bisa lanjutin angkat barang," cerita Genta sambil menggambar 9 kotak di sudut kertas lalu memberi tanda silang pada bagian yang menandakan di mana letak luka bekas operasi.
"Masih banyak yang harus dipindahin?" tanya Mandala di seberang sana. Tidak lama setelah dia bertanya ada suara gemerincing nyaring dan tawa Mandira.
Genta tersenyum tipis.
"Nggak banyak, kok. Tinggal ... " Genta membalik kertas untuk melihat catatan sehari sebelumnya lalu mulai menyalin daftar obat pada lembaran yang dikerjakan " ... perabotan dapur, ruang tamu, sama pritilan isi kamar."
"Aku bantuin, boleh?"
"Boleh," jawab Genta tanpa ada jeda. Pria itu terdiam lalu meringis tanpa suara. Pena yang dipegangnya dia ketuk beberapa kali pada kening. "M, maksud saya ... terima kasih tawarannya, Man. Saya nggak enak ngerepotin kamu."
Pinter banget lo, Ta ... batin Genta dalam hati.
"Nggak apa-apa, Ta. Aku kan nggak ada kerjaan hari minggu, jadi bisa mampir untuk bantu-bantu. Kabarin aja alamatnya di mana, nanti aku ke sana."
Tangan Genta sudah berhenti menulis dan pria itu terperangah menatap hasil tulisan tangannya yang sudah memenuhi lembar follow up.
Bukan.
Bukan karena tulisan tangannya yang tampak keriting yang membuatnya mendadak pusing, tetapi fakta bahwa dalam dua hari ke depan Mandala akan ke rumahnya, membantunya pindahan, dan ... bertemu Bunda.
Genta mencoba untuk fokus dan mengembalikan pikirannya pada laporan yang dia sedang kerjakan. Sekali dia mencoba berdeham, sekali dia terbatuk.
Sialnya, pikirannya semakin semrawut dan kini sudut bibirnya jadi pegal karena menahan senyum.
"Nanti saya jemput aja, Man." Akhirnya hanya satu kalimat itu yang bisa Genta ucapkan saking gugupnya.
Untungnya, ponselnya yang dia letakan di pangkuan tiba-tiba menyala. Notifikasi dari grup besar koas muncul di layar.
TS Obgyn dok Ardi di lobi IGD
Berselang beberapa detik, ponsel Genta bergetar tanpa henti. Kali ini datangnya dari David, Robyn, dan Mahesa. Mereka semua mengabari bahwa Genta harus sesegera mungkin menyusul ke lobi IGD.
"Man, nanti saya telpon lagi, ya?"
Tanpa mendengar respon Mandala, Genta bergegas membereskan lembar follow up dan earphone yang dia kenakan. Dia pun berlari menyusuri lorong di depan bangsal Batavia 2 menuju IGD.
"Woy, dikejar apaan lu, Ta?"
"Ta, TS Obgyn dicariin tuh."
"Go Genta! Go! Go!"
Sepanjang perjalanan menuju IGD Genta bertemu banyak teman seangkatannya yang sedang duduk-duduk menunggu konsulen masing-masing. Mereka semua menyapa Genta dan ada yang tertawa melihat Genta kelimpungan berlari melalui lalu-lalang orang-orang di lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...