BAB XXIX Prasangka

19 6 7
                                    

Brak

Suara gebrakan meja menggema memenuhi seisi ruangan. Kedua pria yang terduduk pun tampak terkejut melihat kemarahan rekan mereka. Suhu di sekitar ruangan menjadi lebih panas, meskipun sinar mentari telah lama berhenti bersinar.

"Apa sebenarnya yang terjadi?! Ini sudah berhari-hari kenapa mereka tidak lagi menarik selebaran ini?! Mengapa mereka melakukan hal ini lagi??" tanya Jaladhin yang berdiri dengan kedua tangan yang menyentuh meja. Rupanya pria itulah yang menimbulkan suara keras, memukul meja yang tidak bersalah.

"Tenangkan dulu dirimu. Kau tidak akan bisa berpikir jernih jika diselimuti amarah," balas Pandya menenangkan.

"Tapi, apa yang dikatakan Jaladhin ada benarnya. Kenapa mereka tidak lagi menarik selebaran ini? Jika memang sudah berniat menangkap sejak awal, seharusnya selebaran pertama tidak perlu mereka tarik." Tampaknya ucapan Panditya berpengaruh. Ia berhasil membuat kedua pria seusianya bungkam dengan raut wajah serius.

Jaladhin meremas kuat selebaran yang ada ditangannya. Pada selebaran itu tergambar jelas wajah anak angkatnya yang dicap sebagai seorang pemberontak. Tidak hanya itu mereka juga menuliskan nominal yang sangat besar jika berhasil menangkap Eila dalam keadaan hidup atau mati.

"Mungkin mereka memperluas jangkauannya," ucap Pandya.

Mereka mengerutkan alisnya. Tatapan bingung juga mereka layangkan pada pria itu.

"Saat selebaran pertama mereka hanya menyebarkan di Kota Gantari lalu menariknya dengan cepat. Kali ini mereka melakukan hal yang sama, tapi dalam waktu lebih lama. Artinya, mereka sedang memperluas pencarian terhadap Eila."

"Tapi kak, jika ini tentang berlian suci bukankah mereka telah mengirim orang ke sana? Lalu, mengapa mereka tidak lagi memasang wajah muridmu? Dia kan juga terlibat."

Ucapan Panditya berhasil kembali membungkam bibir keduanya. Mereka sibuk dengan spekulasinya masing-masing.

"Apa mungkin mereka mengetahuinya?" ucap Jaladhin memecah keheningan.

Kedua bersaudara itu mengerutkan alisnya. "Mengetahui?" ucap mereka bersamaan.

"Iya. Mungkin mereka tahu jika Eila adalah keturunan Santika. Karena itu mereka tidak lagi peduli dengan Varen yang juga terlibat dengan belian suci. Mereka menaikkan nominal imbalan dan memperluas jangkauan pencarian agar Eila mudah ditemukan."

Pandya mengembuskan napas beratnya. "Tapi, jika dugaanku benar. Lalu, siapa yang telah membocorkan informasi ini padanya? Yang mengetahui hal ini hanya kita dan murid-muridku. Aku bahkan belum memberi tahu Raja Chandresh dan para sekutu."

Jaladhin tersenyum miring. "Apa 'Dia' juga termasuk kita?" Jaladhin bangkit. Ia menarik pedangnya dan mengarahkan ujung pedang itu pada leher Panditya.

Panditya yang mendapatkan serangan mendadak hanya bisa diam menatap tajam Jaladhin. "Kau . . . Kau pelakunya?!" tuduh Jaladhin.

"Itu tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan," balas Panditya dingin.

"Kau yang melakukannya kan?!" Kilatan api terlihat pada bola mata Jaladhin tatkala ia menatap tajam Panditya. Rahang sang pria kian mengeras bersamaan dengan tangannya yang menggenggam erat pedang itu.

Panditya menyadari kembarannya tidak lagi dapat menahan amarah Jaladhin. Panditya hanya bisa pasrah memejamkan matanya sembari mengembuskan napasnya.

"Mengakulah!!"

"Sudah pasti aku menjadi tersangka utama dalam ceritamu," ucap Panditya.

"Apa?!" Wajah Jaladhin tampak tidak percaya mendengar ucapan Panditya. "Jadi kau sudah memperkirakan pikiranku?!"

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang