Chapter 8: Pembully Sekolah Lama

71 9 3
                                    

Aku dan teman-temanku berpisah di pertigaan. Trevor dan Scott pergi ke jalan yang sama karena mereka tinggal bersebelahan dan Charlie harus bekerja paruh waktu di salah satu toko.

Aku menuju ke toko buku untuk membeli beberapa buku yang dibutuhkan dalam pelajaran sastra. Biasanya aku membaca rangkuman secara online karena prosesnya lebih mudah dan lebih cepat daripada harus membolak-balik seluruh buku yang terdiri dari tiga ratus halaman (oh jangan bertindak seolah-olah kamu belum pernah melakukannya), tetapi proses belajar yang diterapkan oleh para guru di SMA Ivory lebih rajin dari sekolah sebelumnya. Mereka mengajukan pertanyaan spesifik yang hanya bisa kalian jawab dengan benar-benar membaca buku.

Aku membeli semua buku yang ada di list, setelah itu aku menghabiskan waktu berkeliaran di bagian komik dan fantasi sebelum pulang.

Saat hari mulai petang, hawa dingin terasa memenuhi udara sekitar. Aku memasukkan daguku ke dalam jaket saat angin sore berhembus menerpa wajah. Aku terus berjalan menyusuri blok yang mengarah ke jalan menuju rumah, sesaat kemudian aku berhenti sejenak ketika melihat tanda lampu merah. Musik keras dan tawa dari seberang jalan menarik perhatianku. Sekelompok pria remaja sedang minum dan merokok, mengganggu orang yang lewat dengan musik yang menggelegar melalui speaker Bluetooth mereka.

Mataku terbelalak saat melihat wajah yang familiar di antara mereka. Dia telah mengecat rambutnya menjadi warna cokelat terang seperti rambut jagung dan menatanya menjadi gaya mohawk yang garang. Alis kirinya memiliki dua belahan, dihiasi ornamen tindik yang menambah kesan preman. Bekas luka yang jelas melintang di batang hidungnya --- bekas luka yang kutinggalkan di salah satu perkelahian kami --- itu adalah alasan mengapa aku masih bisa mengenalinya. Rick adalah teman sekelas lama, dia dikeluarkan dari sekolah karena merusak properti.

Perhatianku teralihkan ketika melihat lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau, seketika aku langsung menurunkan pandanganku, memasukkan daguku lebih dalam ke dalam jaket dengan harapan agar wajahku tetap tidak terdeteksi. Aku berbalik arah, mendesah lega ketika aku merasa tidak terlihat lagi oleh mereka. Seketika tubuhku menegang saat aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Desmond!" Rick berteriak lagi. Panik menjalari tubuhku, tapi aku mengabaikannya dengan mempercepat langkahku.

Ingat Desmond, kamu berjanji pada Mom untuk berhenti berkelahi. Berapa banyak dari mereka yang mengikutiku?

Ketika aku berbalik ke arah gedung berikutnya, aku melirik ke belakang dan menghitung. 1, 2, 3...6 orang dari mereka?!

Aku tidak ingin membawa masalah ke rumah, jadi aku tidak memilih jalan pulang yang biasa aku lewati. Berjalan menyusuri jalan yang tidak dikenal, bergegas melewati bar-bar yang buka dan toko serba ada berharap mereka tidak mengikutiku sampai ke sini.

Aku sampai disebuah gang gelap di mana letaknya jauh dari lampu-lampu kota sehingga menyebabkan penerangan di sini menjadi kurang terang. Saat aku hendak berbalik di tikungan, seketika langkahku terhenti saat menyadari di depanku itu adalah jalan buntu. Aku berbalik, tapi Rick dan gengnya sudah berjalan ke arahku, menghalangi satu-satunya jalan keluar yang akan aku tuju. Mereka menjebakku seperti tikus dalam sangkar.

Aku tahu ini adalah hari yang buruk bagiku, tapi mereka membuat hari ini semakin buruk.

"Desmond!" Rick berseru dengan seringai miring. Dia berjalan aneh dan bahunya membungkuk seperti kucing yang siap menerkam mangsanya. "Aku sudah memanggil namamu beberapa kali. Kupikir aku salah orang."

Aku menatapnya tajam saat melihat senyum jahat yang terpampang di sudut bibirnya yang masam.

"Oh," hanya itu yang kujawab.

"Oh?" dia mendengus. "Hanya itu yang ingin kau katakan? Aku merindukanmu asal kau tahu. Kau menjadi lebih tampan," renungnya, sembari melingkarkan jari-jarinya di rahangku.

The Class Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang