part 1

0 0 0
                                    

epat pukul setengah 7 gerbang sekolah sudah didepan mata, untuk pertama kalinya aku merasa disambut ketika masuk sekolah, sekitar sepuluh siswa mengenakan jas bewarna Navy berjejer tegap memperhatikan setiap inci  raga siswa yang datang, satu saja kesalahan  yang tertangkap mata mereka, maka namanya akan tertulis dibuku keramat berwarna hijau tua yang sudah dipegang gagah oleh salah satu dari mereka.
Dua sampai tiga guru juga sudah bertengger disana ikut mengawasi meskipun terlihat hanya menyerahkan punggung tangannya untuk dicium oleh setiap siswa yang datang, tapi  sepertinya  fungsi sebenarnya hanya agar siswa yang tertangkap tangan melakukan pelanggaran tidak memberontak karena tatapan guru tersebut.
Aku ikut berbaris mengantri mencium tangan tiga guru yang berbaris rapih sambil tersenyum ramah setelah melewati gerbang tersebut,  jalanan sekolah terbelah  menjadi tiga jalan  dengan tujuan berbeda,  disamping jalan-jalan tersebut bukan gedung kelas yang terlihat tapi berbagai tanaman  buah-buahan yang bertengger  senang seakan mendapat jatah tempat, Aku mulai mengingat sekolahku dikampung dulu, meskipun sekolahnya terpandang mewah didaerah rumahku ketika itu, tapi seluruh tanahnya berdempet bangunan-bangunan kelas bertingkat karena tak ada tanah lagi yang bisa dibangun, tanah yang tak ditindih bangunan hanya lapangan basket yang dikelilingi oleh besi tinggi agar bola pantulannya tidak mengenai kelas yang tak ada jarak setengah meter pun dari lapangan basket tersebut, satu lagi yang tersisa adalalah lapangan bola volley dengan konsep yang sama,lapangan itu juga berfungsi ganda karena kadang dipakai untuk lapangan bulu tangkis yang mengikuti trand di Indonesi yang sering dianggap lucu oleh orang dari Negara asing, karena cabang olah raga yang sangat memperhatikan ketenangan angin ini malah dimainkan pada  tempat angin bebas kesana kemari menari.
“hemmm” aku  menahan senyum mengingat sekolah menengah pertamaku dulu.
“permisi” seorang berperawakan tinggi dengan rambut rapi serta aroma harum melewatiku kemudian beberapa detik berlalu  hilir mudik orang-orang berseragam sama melewatiku  dengan pasti begitu saja,  samar-samar pembicaraan mereka terdengar
“Beneran ganteng ternyata”
“perawakannya bahkan tak terlihat bahwa ia baru kelas sepuluh”
Aku memperhatikan langkah dua gadis didepanku  itu yang  terus mengikuti laki-laki yang berbau harum tadi
“ah senangnya bisa melakukan hal itu, tapi kemungkinan terbesar aku takkan bisa melakukan itu, sadarlah farah kau hanya perlu lulus dari sisni” bisikku dalam hati, kemudian aku memutuskan  mengikuti  jalan yang mereka tuju tanpa sadar kemana arah mereka pergi.
Sekitar 200 meter dari persimpangan jalan tadi akhirnya barisan gedung meramaikannya pandangan membuatku  tersadar kemana seharusnya aku melangkah,  aku mulai memeriksa tas, mencari selembar kertas  berisi denah sekolah yang ku dapat ketika masa orientasi kemarin, namun kertas lecek itu tak terlihat di dalam tas,  kembali kuperiksa lagi, tetap tak ada, kini rasa khawatirku mulai menguasai,  aku  mengacak-ngacak tasku  namun sayang  tetap tak ada.
“hussshhhh”batinku kesal, tak ada hal yang baik terjadi dihari pertama sekolahku bahkan  semenjak bangun tidur pagi tadi
“ Ra….bangun udah subuh ini!!!” suara ibu berteriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku,
Aku merangkak melihat ponsel tertera 04:30, menurut perkiraan waktuku  seharusnya aku bangun lebih pagi dari pada ini, tanpa babibu  aku segera bergerak   mengambil air wudhu. Sholat subuh sekenanya, berdoa sebentar kemudian berlari menuju dapur.
Kulihat ibu sudah sibuk dengan berbagai sayuran yang berjejer di atas meja, Aku tak peduli  dengan semua itu langkahku mantap menuju wastafel dengan tumpukan piring yang sudah melebihi muatan.
“husss” aku mengendus sebal tapi tanganku tetap bergerak menjamah semua itu, tak ada kata-kata yang terlontak,sesekali ibuku pergi meninggalkan dapur kemudian terdengar teriakan mebangunkan si putri cantik jelita keluarga ini dan pangeran tampan nan pandai. Beberapakali suaranya terdengar mengomel. Aku memilih untuk tidak mendengarkan seruan tersebut dan berkonsentrasi dengan tumpukan piring yang tersisa sedikit.
Tepat setelah pekerjaanku di dapur selesai,  ibu kembali ke dapur mulai menyalakan kompor, sedang aku sudah mulai sibuk bergulat dengan sapu menelusuri setiap petak keramik putih usang rumahku, memastikan tak ada debu yang tak mau ku usir keluar, dari dapur sudah tercium aroma bawang goreng yang membuat perutku keroncongan, namun prinsipku ialah pantang makan sebelum pekerjaan selesai aku mempercepat pekerjaanku.
Aroma nasi goreng sudah tercium membuat perut kosongku terasa semakin dalam, kini tanganku tengah sibuk menyelupkan kain pel dalam air yang sudah diberi aroma pewangi yang sebenarnya tak begitu berpengaruh pada aroma penciumanku.
Setengah dari lantai bagian rumah telah berhasilku sentuh dengan kain lap, ibu sudah sibuk menyiapakan alat makan, nasi goreng hangat sudah terlihat mengepul menggoda,  5 telur ceplok sudah bertengger bangga seolah menjadi makanan paling mewah sejagat raya.
“Zhafran.., ayo sarapan” ibu setengah baya itu berteriak  kencang kemudian tangannya lihai mengambil  nasi goreng di piringnya.
“Hana…., ayok makan nak” teriaknya lagi kini ia memanggil putri sulungnya. Sedang  anak tengah ini yang sedang sibuk dengan kain pelnya itu hanya mengendus sebal merasa tidak diperhatikan, beruntung kejadian itu sudah berulang-ulang,  meski begitu  rasa sakit didada masih ada tapi daya imunku sudah teramat canggih maka tanpa mempedulikan itu semua aku paksa diriku untuk tetap fokus  sibuk dengan kain pel yang sudah membelai lantai  depan kamar pangeran  rumah ini.
“Cekrek” suara pintu terbuka, terdengar dari pintu kayu murahan  pintu kamar.
Dzafran  nama pangeran tampan yang kini tengah  tersenyum cerah ke arahku.
mataku melotot tajam membalas senyumannya, kini matanya bergerak menuju bawah melihat kaki adikku yang dengan santai menginjak lantai yang baru dilap kain pel.
“Kenapa?” remaja itu tersenyum tak ber dosa meningkatkan kadar kejengkelanku.
“Angkat satu kakimu” teriakku menekan nada suara, seakan terhipnosis pada bola mataku  yang maju kedepan seperti akan keluar Dzafran menuruti perintahku. Dan benar saja tapak kaki pria muda itu terlihat.
“yah….”  teriakku marah
“Dzafran berhenti menganggu Mbakmu!”suara ibu terdengar lagi samar-samar.
“Ya masa aku disuruh terbang” katanya menaikan volume suara agar ibu mendengarnya.
“Makannya kalo mau tidur cuci kaki !!!, satu saja tapak kakimu tercetak dilantai tak kan kubiarkan hidupmu tenang” Aku mulai mengancam
Dzafran  memasang kuda-kuda seakan hendak berperang dengan lawan abadinya itu , tapi ternyata dia malah mengangkat kedua tumitnya kemudian berlari melewatiku, melihat hal itu cengkraman gagang pel pada tanganku semakin  erat, ingin sekali rasanya ku lempar menuju kepalanya.
“Tak ada gunanya berteriak marah”  bisikku dalam hati.
aku kembali menenelusuri jejak kaki aneh adikku itu. Mengomel didalam hati.
Kaka perempuanku dengan anggun keluar dari kamar, berjalan hati-hati supaya tidak mencetak bentuk kaki di lantai yang sudah terlihat telah disentuh kain pel, kelakuan tetang itu memang tidak senyebalkan seperti adik laki-lakiku. Tapi Gadis cantik berwajah pucat itu, memang sudah menjengkelkan di mataku meskipun ia tak melakukan apapun, malah dendam terbesar, dan seluruh keluh kesahku itu hampir semua mengarah kepadanya, tapi lagi-lagi ku tahan.
Mencoba mengusir rasa iri, aku menggosok lantai rumah lebih keras, perlahan suara pembicaraan ruang makan mulai menganggu pikiranku, kemudian berganti dengan bayangan  rasa nasi goreng ibu, meski hari-hari seperti ini sering terjadi tapi entah mengapa masih saja susah untuk mengendalikannya. Beruntung akal sehatku masih berjalan dengan baik, aku hanya ingin menyelesaikan pekerjaan, kali ini aku tak  ingin mood bagusku hilang di awal masuk sekolah baru.
Lima belas menit kemudian semua selesai, Aku melihat pintu kamar mandi tertutup untuk mengefektifkan waktu, aku memilih untuk menyantap nasi goreng terlebih dahulu di meja makan.
“Lah kok telornya tinggal separoh?” teriakku  kesal sengaja agar anggota lain mendengarnya, dadaku sesak, tubuhku terasa lelah, belum lagi perut lapar membuat emosiku gampang tersulud.
“Zafran kebiasaan” Ibu berteriak lantang, kemudian tak ada kelanjutannya, seperti biasa hal itu sudah sering tejadi, aku tahu betul setelah itu tak ada kelanjutan apapun, aku hanya perlu menghabiskan apa yang ada di Meja, menjaga agar moodku tetap bagus, kuingatkan kembali hatiku.
“Ingat ini hari pertama sekolah memakai seragam putih abu-abu”
Tak sebulirpun nasi  kusisakan entah terlalu lapar atau tak mau rugi tapi kata hatiku mengatakan makanlah sampai kau kenyang.  Fungsi lain kenapa aku biasa makan paling akhir adalah agar  bisa langsung mengerjakan tugasku yang lain yakin bebersih meja makan.
“Hufhh” aku mengendus sebal tapi tetap di lakukan.  Tepat waktu ketika kuselesaikan seluruh tugas, kakak perempuanku akhirnya keluar dari bak mandi, Aku bergegas mengambil handuk  namun ketika aku berbalik adik laki-lakiku yang agak tidak tahu diri itu sudah menyeringai menggoda kemudian berlari secepat kilat memasuki kamar mandi,
“Brugggg” suara pintu kamar mandi terdengar nyaring ketika dibanting tanpa apun oleh Dzafran.
“Dzafran sekolah kau kan lebih dekat” aku kembali mengomel dengan nada suara nyaring, yang menjadi target malah tertawa sambil bernyanyi di kamar mandi bahagia.
“Dzafran….” Ibu kembali berteriak nyaring, tapi aku tahu persis seperti biasa, setelah itu  tidak akan ada kelanjutannya, aku  tetap harus menunggu adikku itu keluar dari kamar mandi, beruntung  harapan kalau adiknya tak ada niatan menggoda terkabul, jadi setelah ia keluar, dengan sigat aku memasuki kamar mandi, tak perlu waktu lama kurang dari sepuluh menit ritual mandiku telah selesai. Sayang jam sudah tidak bisa ditolelir lagi aku pergi dengan segera dan melupakann kertas denah sekolah baruku yang luasnya seluas blok di kampungku ini, bahkan mungkin lebih luas dari itu.
“Ka maaf….” Kataku, seorang siswa menoleh.
Aku  menundukan kepala sambil tersenyum, kaki kecilku sibuk berlari menjajari langkah siswa tadi.
“Kalo area Mading dan papan info sebelah mana ya?”
“oh… ngikutin jalan ini saja nanti ketemu” katanya tersenyum ramah.
“Maksih ka”
“mau apa di hari pertama sekolah liat madding?” Siswa tadi membuka pembicaraan kembali membuat hatiku  lega dan merasa sekolah ini nyaman.
“Hey…”
Aku terperanjat tadi belum menjawab malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
“sejujurnya aku lupa bawa denah sekolah, dan aku lupa kelasku berada dimana”
“Oh, emang kelasa apa?”
“Sepuluh 3”
“Wah keren….”
“Keren?”  responku aneh.
“itu artinya kau sekalas dengan orang keren” katanya sambil menatapku penuh dengan keyakinan.
Aku hanya bisa menelan ludah tak mengerti tapi juga enggan untuk bertanya lagi.
“eh ke kelas sepuluh  tiga yu, mau nengokin Azka dulu” seorang siswi yang berjalan dibelakang mereka berkata semangat, kemudian gelak tawa disusul oleh yang lainnya.
Reflek aku dan siswa tadi minggir  mempersilahkan gerombolan itu lewat.
“Azka?” aku bertanya lagi
“Kenal?”
menggeleng.
“Tentu saja ada yang lebih keren dari Azka” katanya tenang.
“Siapa?”
“Namanya Fian,  orangnya keren ganteng pinter baik pula sama semua orang, pokoknya  cocoklah buat di jadiin idola” katanya yakin.
aku yang  memperhatikan dengan seksama disampingnya hanya ber oh panjang. Kemudian kembali mengarahkan pendangan kedepan, ia melihat segerombolan gadis itu sudah membuat jarak amat jauh,
“Maaf ya ka ,duluan aku ikut gerombolan itu saja” kataku sambil berlari mendekat pada mereka.
Setelah jaraknya dekat aku melambankan lagi langkah kakiku, mengikuti rombongan itu yang berjalan sambil bergurau membuat langkahku ikut semakin memelan.
“Duluan ya” siswa tadi berkata ketika mendahuluiku, belum sempat aku berkata apapun ia sudah melangkah menjauh dengan pasti.

Kelas SepuluhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang