PROLOG

71 9 3
                                    


Umat manusia disebut sebagai makhluk hidup paling sempurna bukan tanpa fakta dan bukti. Mereka memiliki akal untuk menentukan arus serta pikiran berupa pandangan terhadap sebuah kehidupan. 

Namun sayangnya, mereka adalah makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang diberikan. Iya. Mereka serakah.

---

Gerimis pagi yang menenggelamkan para warga dalam mimpi menjadi peluang baginya untuk menarik aksi. Langkah-langkah pendek ia ambil, meninggalkan rintik air pada lantai semen yang meluncur bebas dari mantel hitamnya. Napasnya terdengar seiring keheningan yang mengudara, membiarkan bau tanah dari air hujan menyergap kuat indra penciumannya.

Aku telah menunggu lima belas tahun untuk hari ini. 

Hari ini atau tidak sama sekali.

Kalimat itu kembali berputar dalam benaknya, menamparnya diantara ambang keputusan dan konsekuensi. Terdengar tarikan napas kuat sebelum ia kembali mengambil langkah berani. Mendekati sisi kasur, dimana seorang pria tengah terbaring pulas di dalam dekapan semilir angin pagi. Di tengah lautan suara dengkurannya, sesekali kepalanya menggeliat sebab matahari pagi yang segera menampakkan diri. Langkahnya berhenti membuat refleksi cahaya yang menembus celah gorden menimpa pundaknya. Bersamaan dengan redupnya cahaya, sepasang rena itu terbuka.

Tatapan yang amat ia benci itu ia nikmati untuk sepersekian detik, hingga sebelum sempat mengeluarkan suaranya sepasang tangan bergerak cepat melingkar pada lehernya. Menekannya kuat-kuat, menyapu bersih suara pekikannya, menyisahkan jengitan kecil yang tak berguna untuk menyelamatkan dirinya. 

"A...apa maumu keparat, argh..." suaranya terdengar amat lemah dan serak, kakinya menendang-nendang udara kosong, badannya meronta untuk dilepaskan, dapat dirasakan beberapa pukulan kecil tak berdaya ia layangkan.

Gertakan gigi terdengar, cengkramannya semakin kuat membuat kepalanya yang semakin dilahap oleh bantal.  

"Lepas...Apa yang kau mau!" ia berteriak, menggunakan sisa pasokan udaranya, seolah ini adalah kalimat terakhir yang harus ia utarakan sebelum maut menjemput. Mulutnya terbuka menampakkan lidah merah mudanya yang menjulur masuk dan keluar. Bola matanya melebar ketika melihat benda tajam itu diarahkan tepat ke atas perutnya. Tangannya kembali bergerak memukul kuncian pada lehernya. Mempertaruhkan nyawanya pada detik-detik penuh kesia-siaan itu.

"Keabadian tidak cocok untuk keparat sepertimu!"

---

Hola! Selamat datang di dunia bunglon. Terima kasih bagi yang berkenan untuk membaca cerita ini.

Semoga seperti kita yang berkenalan di awal, kita bisa bertemu lagi di akhir untuk sebuah 'sampai jumpa'

-A.W-

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang