1. Fajar dan Senja

197 13 1
                                    

Januari 2010.


Martha sudah menyibukkan diri sebelum fajar menyingsing. Dengan senyum puas yang terulas di wajahnya, ia memandangi printer di sudut meja mencetak lembar demi lembar tugasnya. Kegaduhan, tanda mesin itu bekerja keras, itu tidak mengusik Martha. Malahan menambah semangatnya.

Hari ini hari pertama ujian akhir semester. Di saat mahasiswa universitas lain menikmati libur semester, Martha dan teman-teman sekampusnya masih harus berjibaku dengan ujian. Dan di saat teman-temannya mengeluh karena sulit menemukan kembali niat belajar setelah liburan akhir tahun, Martha justru menanti kedatangan hari ini dengan semangat 45.

Mesin itu akhirnya berhenti bersuara. Martha segera merapikan tumpukan kertas itu. Belum sempat ia mengambil stapler, ponselnya berdering. Dahinya berkerut ketika melihat nama yang tertera di layar. Martha menengadah untuk melihat jam dinding. Tak biasanya John menelepon pukul 6 pagi.

"Halo, John?" sapa Martha ragu.

"Babe, lagi ngapain?" Serak di suara laki-laki itu memberi tahu bahwa ia baru saja bangun.

Martha menghela napas, "John, harusnya aku yang tanya. Ngapain kamu jam segini cari aku?"

"Kangen, Babe. Kemarin kan aku batal ke sana."

Martha tak bisa menahan senyum mendengar kata-kata pacarnya itu.

"Mau ke kampus, kan? Nanti aku jemput ya? Kita makan siang bareng."

"Aku ke kampus untuk setor tugas aja, John. Diantar Papa. Masa Papa langsung disuruh pulang? Aku bilang apa sama Papa?"

"Kalau gitu, aku antar kamu. Setelah kamu selesai, kita jalan. Cari makan yang enak."

"Kamu enggak kerja?" Martha menjepit ponsel di antara pundak dan telinganya sembari meraih stapler. Ia mendengar tawa jail John.

"Gampang, aku bisa bilang kalau mau ke klien."

"John!" seru Martha sebal. "Kamu tuh kerja yang bener! Jangan bolos. Kita kan bisa pergi sepulang kamu kerja."

"Iya..., iya, Babe. Aku bakal kerja yang giat, buat masa depan kita."

Spontan Martha mengerucutkan bibirnya, menahan senyum. Ia membayangkan John mengucapkan kalimat itu dengan seringai percaya dirinya.

Segera Martha merapikan tugas yang telah terjepit sempurna dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna cokelat. Ia menuliskan nama dan nomor mahasiswanya dengan spidol hitam.

Tak mendengar jawaban Martha, John bertanya lagi, "Jadi, nanti malam mau ke TP, Tunjungan Plaza?"

Martha menutup spidol, mengembalikannya ke dalam pouch alat tulis, lalu meraih ponsel dengan tangan kanan. "Ngapain ke TP kalau nggak ada perlu? Kita ... pergi cari tahu campur, yuk. Kemarin malam, pas nonton teve, Papa bilang pengen makan tahu campur."

"Oh. Nanti aku belikan aja, Babe. Beli berapa porsi? Enam?"

"Eh, jangan, John!" Martha menghitung dengan jarinya tanpa suara. "Beli 4 porsi aja. Papa enggak boleh banyak-banyak makanan berminyak. Tapi kalau kamu yang beli, Mama nggak bakal marah, paling juga ngomel. Papa bisa bagi sama Mama."

"Oke. Siap, laksanakan! Duh..., aku jadi harus nahan kangen seharian deh."

Pipi Martha terasa panas. John selalu punya cara menggodanya. Ketika mereka sedang bersama, Martha akan berusaha keras terlihat sebal karena tidak ingin John jadi besar kepala. Tapi beda halnya ketika bicara di telepon, Martha tak perlu berpura-pura.

"Semangat ujiannya, Babe!" seru John.

Martha berdecak, "Kan aku udah bilang, cuma ngumpul tugas–"

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang