Namaku Aminah Sekar Ayu, biasa dipanggil Ami ataupun Sekar. Terserahlah yang penting mereka senang, asalkan masih namaku bukan nama panggilan yang aneh-aneh.
Pagi ini, ku bantu ibu menumbuk padi di samping rumah, setelah acara beres-beres ku selesai. Bergabung dengan beberapa orang anak tetanggaku yang usianya hampir sama denganku.
Usiaku saat ini baru menginjak delapan belas tahun. Sungguh miris nasibku, statusku sudah janda dua kali saat ini.
Terkadang aku merasa malu, apalagi tanpa sengaja sering mendengar tetangga mencibirku. Seperti saat ini contohnya. Tanpa sengaja, aku mendengar ibu-ibu yang sedang bergosip.
"Aminah sudah janda dua kali, dan sekarang usianya sudah delapan belas tahun. Seharusnya dia sudah menikah lagi, kan malu berstatus janda." Seorang wanita paruh baya mencibirku keras, mungkin sengaja agar aku bisa mendengarnya.
Jarak ku dengan ibu-ibu penggosip itu tidak terlalu jauh.
Kuhela nafasku dalam-dalam. Kutinggalkan pekerjaanku dan kuhampiri mereka.
Dengan senyuman ramah aku menjawabnya. " Terimakasih atas perhatiannya Bu Herni, tapi lebih baik status janda daripada berstatus pelakor, atau jadi istri kedua, apalagi istri ketiga." Wanita paruh baya bernama Bu Herni itu langsung diam. Mungkin perkataanku menohok kedalam hatinya. Terserahlah.
Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal itu, anaknya Bu Herni menjadi istri ketiga dari salah satu pemilik pertanian terluas di kampungku ini.
"Kamu sengaja nyindir anakku ya?" Tanya Bu Herni ketus.
"Enggak kok, mana berani." Ucapku dengan senyuman manis dan polos, sengaja supaya jengkel sekalian. Habis dia itu biang gosip banget, aku seringkali mendengar dia sedang menggibahiku.
Wanita itu terus menggerutu dengan muka masam nya. Ah kenapa juga dia harus menumbuk padi di samping rumahku segala sih.
Hingga akhirnya aku bisa bernafas lega saat acara menumbuk padi selesai, sekitar jam tujuh pagi.
Aku masuk ke rumah dengan membawa hasil padi yang sudah kutumbuk, dan kupisahkan dari kulitnya. Lalu ku simpan di dapur.
Aku duduk disamping tempat tidurku mengingat masa lalu.
Saat itu usiaku baru enam belas tahun, dan orang tuaku sudah menikahkan aku dengan seorang pemuda berusia delapan belas tahun.
Aku yang masih polos dan anak-anak, mana tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang istri. Meski nyatanya ibu dan bapakku sering memberiku arahan.
Alhasil aku menangis meraung-raung saat pria yang sudah sah itu hendak menciumku. Aku ketakutan luar biasa hingga mendorongnya sekuat tenaga, lalu aku kabur malam itu kerumah orang tuaku.
"Ami! Kenapa kabur!" Bapak marah besar.
Sedangkan aku sedang meraung-raung di pelukan ibuku, ibu mengusap lembut kepalaku.
"Dia masih anak-anak pak, jadi belum mengerti." Bela ibuku dengan kasih sayang, terimakasih ibu.
"Kamu ingat, berapa usia kita saat menikah?" Cibir bapakku tegas. Lalu pergi ke dalam kamarnya, mungkin mau menenangkan diri.
Ibu tampak diam, mungkin saat itu ibu sama seusiaku saat menikah.
Hingga esoknya, keluarga suamiku datang marah-marah dan memutuskan agar pernikahan kami batal.
"Dadang butuh istri untuk membantu merawatnya dan melahirkan anak-anaknya. Bukan malah dia harus punya anak adopsi!" Ujar ibu Dadang, pria yang sudah sah jadi suamiku itu.
Kulihat pria itu duduk tegang di samping ibunya, wajahnya terlihat gelisah.
"Kami minta maaf atas kejadian semalam, kami akan menjelaskannya lagi pada Aminah." Ujar ayahku dengan rendah diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Terhalang Takdir
RomanceMenjadi Janda di usia muda bukanlah keinginannya, tapi nyatanya itu terjadi pada Sekar. Hingga sosok Andi membuatnya jatuh hati, namun kembali ia patah hati. Merantau ke kota untuk move on dari Andi. Namun kisah cinta yang rumit kian menanti. Pras s...