1. Desa Bunglon

39 7 0
                                    

Walau waktu sedang tak bersahabat dengan alam, mereka masih bersikeras melaksanakan konferensi pondok bundarnya. Berbagai topik mereka lahap, mulai dari politik, budaya, kejadian fenomenal bahkan keluarga mereka. Bergotong royong, para warga desa Bunglon sepakat membagi tugas.

Bapak pertama dengan kumis tebalnya yang menjulur seperti pelangi diatas bibir, bertugas menggelar tikar, disusul bapak kedua dengan sarung kotak-kotak berjalan membungkuk untuk menyapu dedaunan kering di sekitaran pondok menggunakan sapu lidi. Bapak ketiga dengan kacamata petaknya bertugas memukul kentungan unutuk mengumpulkan para warga lain yang belum hadir. Disusul bapak keempat dan kelima yang sedang berjalan ke arah pondok dengan mengangkat sebuah nampan kayu berisi pisang goreng serta teko penyok dengan kopi hitam didalamnya.

Obrolan kian berbaur dan saling menimpa, seolah mereka adalah keluarga bahagia tanpa ikatan darah. 

"Cepat, kemarikan kopinya! Karip sudah menguap tiga kali dari tadi," ujar Ujang sambil melirik ke arah Karip yang mendadak terbelalak karena namanya terpanggil.

"Alamak, aku tak mengantuk. Hanya sedikit ingin tidur," balasnya sambil menaikkan kacamatanya yang kendur dan langsung mendapat sorakan dari semua orang.

"Sama saja!"

Tawa semua orang kemudian menguap bersamaan dengan asap kopi yang mengepul keluar dari lubang teko. Pisang goreng diatas daun payung mulai dicomot oleh tangan satu per satu.

"Pak kades terhormat, gimana kabarnya belakangan ini?" Sarung—nama yang sesuai untuk hobi koleksi sarungnya — bertanya sembari menggeser duduknya mendekati kepala desa Bunglon atau yang sering mereka panggil pak de Kusno atau pak Kades.

Pak de kusno menoleh sambil menyesap kopi hitamnya, sensasi pahit yang menyirami tenggorokannya mendesaknya mengeluarkan suara menyesap.

"Baik, ladang tomatku panen lagi minggu ini. Siap-siap kudatangi rumah kalian besok," pak de Kusno berujar dengan nada semangatnya sambil meletakkan cangkirnya kembali.

Semua orang kembali bersorak gembira karena mendengar kabar itu kecuali satu orang.

"Alamak, kenapa muka kau kayak jeruk perut macam begitu?" logat unik Karip menarik perhatian seluruh warga.

Kumis Ujang tak lagi bergetar, melainkan melengkung ke bawah. Pandangannya menunduk dan mulutnya terpaut.

"Ladangku dirusak anjing pak de Teo," ujar Ujang sedikit memelankan suaranya, takut pernyataannya akan membuat wakil kepala desa mereka tak enak hati. Dan benar saja, ekspresi pria itu langsung berubah.

"Anjing saya? Astaga, mohon maaf Jang. Nanti saya ganti rugi..."

Ujang langsung menggeleng seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi, "Gak papa pak de, sebelumnya emang udah gak gitu bagus pertumbuhannya."

"Wajar sekali injek langsung peot," sahut Karip sambil mengunyah pisang gorengnya.

Pak de Teo menangguk kecil, namun tak urung niat untuk kembali berbisik.

"Nanti saya ganti rugi sehabis kpb."

Kalau wakil kepala desa mereka sudah berucap begitu, Ujang tak mungkin menolak. Rezeki di depan mata. Ujang tersenyum kecil sambil mengancungkan jempolnya.

"Oh ya, jangan lupa malam ini. Mbak Dewi..." seruan Ujang langsung dipotong oleh pak de Kusno.

Dengan tersenyum ia menjawab," Tentu saja, kita tidak mungkin melupakannya."

Detik berganti menit, suasana semakin riuh. Pisang yang tadinya memenuhi seisi nampan, kini tinggal setengah. Seolah tak ada hari esok, mereka bercerita untuk hari ini.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang