BAB XXXIV Terulang Kembali

8 6 8
                                    

Sekelompok remaja tengah berkumpul di dalam sebuah gubuk di tepi hutan. Mereka mengistirahatkan tubuhnya setelah bertarung melawan utusan kerajaan.

Tanpa suara Eila menidurkan tubuhnya di atas sebuah ranjang kayu. Ia menatap langit-langit gubuk sebelum perlahan menutup matanya.

"Kak, berapa hari kita bisa sampai ke sana?" tanya Varen.

Radev meletakkan minuman hangatnya. Ia membuka gulungan peta yang berada disampingnya.

"Kurasa perjalanan ini cukup panjang. Mungkin enam sampai tujuh hari."

"Oh iya! Bagaimana kau bisa mendapatkan peta itu?" tanya Radev.

Kini semua orang melemparkan tatapannya pada Faleesha. Gadis berkepang satu yang duduk terdiam dengan senyuman manis diwajahnya.

"Kurasa lelaki itu mudah kehilangan konsentrasi," ujar Faleesha santai.

"Mudah kehilangan konsentrasi?" Faleesha mengangguk yakin.

Varen membelakkan mata, tak terima dengan ucapan Faleesha. Ucapan gadis itu seperti berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan saat bertarung. Ia harus bersusah payah agar bisa mengelabuhi lelaki itu.

"Saat itu ia kehilangan konsentrasi meskipun berhasil memojokkanku. Karena aku melihatnya lengah, mudah saja untuk mengambil peta yang muncul dari balik jubah itu," jelas Faleesha.

"Aneh"

Aksa mengerutkan kedua alisnya mendengar penjelasan Faleesha. "Kurasa dia bukan orang yang mudah lengah," ujar Aksa yakin.

"Apa mungkin . . ."

Aksa tak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu memperhatikan Faleesha yang sibuk menikmati makanannya. Gadis itu tampak tak acuh dengan pendapat Aksa. Tak ingin berpikir panjang, Aksa lantas menepis pikirannya begitu saja.

"Astaga, dia bahkan tak menyentuh makananya," ucap Varen menggelengkan kepalanya.

Lelaki itu lantas menutupkan kain pada tubuh Eila. Senyuman manis terlihat jelas diwajahnya takala menatap sang gadis yang tengah tertidur pulas.

"Kau seperti menjaga istrimu", celetuk Radev dan berhasil memancing gelak tawa Aksa.

Varen menatap tajam kawan seperguruannya itu, "Astaga, kaliankan tahu sendiri paman menitipkan dia padaku."

"Tapi, paman menitipkan dia sebagai muridmu. Kenapa kau justru memperlakukannya seperti istrimu?" sanggah Aksa.

"Hei! Dia hanya temanku!"

"Ohh hanya teman"

"Teman seumur hidup?"

Radev dan Aksa berbisik cukup keras dihadapan Varen. Mereka sengaja membuat Varen malu hingga rona merah muncul diwajah Varen.

"Astaga, kenapa wajahmu terbakar?" goda Radev.

"Kak diamlah!" ucap Varen kesal. Tapi, pemuda kekar itu tak menggubrisnya. Ia justru semakin menggoda adik tingkatnya itu.

Brak

Pintu kayu rumah itu dibuka dengan kasar, hingga membuat Eila terbangun dari tidurnya. Jazziel berdiri dihadapan mereka dengan wajah gusarnya. Mereka terdiam, menatap bingung pria kekar itu.

"Ada apa Iel?" tanya Radev.

"Kalian harus segera meninggalkan kota ini! Aku melihat para penjaga perdamaian menggeledah setiap rumah untuk mencari orang-orang yang membangunkan Lembuswana. Jika mereka tahu Eila terlibat dalam hal ini, mereka pasti langsung membunuhnya."

"Kita harus pergi!" ucap Radev.

Dengan cepat mereka membereskan perbekalan dan keluar dari gubuk itu. Sialnya matahari masih di atas kepala, membuat mereka akan kesulitan bersembunyi.

Mereka berlari menuju kuda yang berada di belakang gubuk itu. Eila terdiam saat akan menaiki kuda. Matanya menangkap seorang anak yang menangis di antara kegaduhan kota. Ia mengepalkan tangannya takala melihat seorang penjaga yang menyeret kasar anak itu dan melemparkannya pada kumpulan anak lainnya.

Pikiran Eila kini teringat pada seorang anak yang mendapat perlakuan sama di Kota Gantari. Pada saat itu ia tak bisa melakukan apapun, tapi kali ini Eila tak akan membiarkannya kejadian itu terulang. Eila tak akan membiarkan gadis kecil tak dosa itu tewas di tangan hina para penjaga perdamaian.

Eila yang merasa geram lantas berlari mendekati penjaga itu. Ia tak memperdulikan rekan-rekannya yang meneriakkan namanya. Gadis itu juga mengambil anak panahnya dan membidik sang penjaga hingga tersungkur tak bernyawa.

"Lepaskan mereka!" Para penjaga perdamaian itu menatap remeh Eila.

"Berani sekali kau menantang kami!" ucap salah satu dari mereka.

Eila melepaskan topeng yang menutupi wajahnya. Kini gadis itu tak senggan memperlihatkan wajahnya yang memiliki tanda biru. Rambunya yang dikepang tak menghalangi wajah cantik gadis itu.

"Lepaskan mereka atau aku yang akan membunuh kalian," ucapnya dengan tatapan tajam.

Penjaga itu masih tak menghiraukan ucapan Eila. Ia justru memerintahkan anak buahnya untuk menyerang Eila. Mereka berlari mendekati sang gadi, tapi naas sebelum mereka menyentuhnya anak panah Eila sudah menewaskan mereka terlebih dahulu.

Merasa geram, pemimpi penjaga perdamaian itu memberi perintah untuk menyerang Eila. Bahkan mungkin itu perintah untuk membunuhnya. Tak seperti sebelumnya, wajah Eila tampak tenang meskipun puluhan pria berlari ke arahnya. Pedang yang mereka bawa tak memberikan rasa takut pada sang gadis.

Elia terus melesatkan anak panahnya. Usahanya berlatih selama ini tak sia-sia. Gadis itu menggunakan senjatanya dan sesekali menyerang dengan ilmu bela dirinya. Alhasil tidak sedikit penjaga perdamaian yang berhasil ia lumpuhkan.

Eila tersenyum remeh menatap pimpinan penjaga itu. Wajah sang musuh terlihat kalut. Terlebih lagi kali ini Varen dan rekan-rekannya kini berdiri di samping Eila. Gadis itu juga melihat sekumpulan orang berpenutup wajah yang menyodorkan senjata pada para penjaga perdamaian, bisa Eila tebak mereka adalah anggota Chitesh.

"Semuanya serang!!" ucap pemimpin itu.

Seluruh warga menyingkir. Pertarungan kembali pecah di kota tambang ini. Tidak sedikit dari mereka yang tumbang di pertarungan ini. Meski begitu Eila tak berniat untuk mundur. Ia akan menyelesaikan pertarungan ini sebelum pergi meninggalkan kota.

Setelah cukup lama bertarung, kemenangan berhasil diraihnya. Tidak ada satu pun penjaga perdamaian yang tersisa.

"Eila, kalian harus segera meninggalkan kota," ucap seorang wanita berpenutup wajah tidak salah lagi ia adalah Tara.

"Bagaimana denganmu dan mereka?"

"Tenanglah. Kami mengenakan penutup wajah ini. Tidak akan ada warga yang mengenali kami. Dan mereka, kami yang akan menjaganya," ucap Tara.

"Pergilah sebelum penjaga desa setempat mengetahui hal ini!" tambah Tara lagi sebelum Eila membantah.

Gadis itu mengangguk. Ia berjalan mendekati anak perempuan yang dilihatnya tadi.

"Aku aku datang lagi, sampai saat itu mau kan kamu bertahan?" ucapnya sembelai sang anak.

Gadis itu mengangguk dengan air mata yang masih menetes. "Berjanjilah kak. Berjanjilah kakak akan kembali."

Eila tersenyum. Ia merogoh mengambil kain yang biasa ia kenakan di pergelangan tangan dan memberikannya pada sang anak.

"Kakak berjanji. Simpahlah tanda ini, jangan sampai mereka mengetahuinya," ucap Eila dibalas anggukan sang anak.

"Bagus"

Eila lantas bangkit dan berjalan mendekati rekan-rekannya. "Ayo kak!"

Mereka berlari menuju kudanya masing-masing. Dengan cepat Radev memacu kudanya memimpin perjalanan menuju tempat terakhir. Eila menoleh kebelakang saat kuat itu memacu meninggalkan kota. Matanya menangkap bayangan Tara dan anggota Chitesh lainnya membantu warga yang terluka.

***

.
.
.
Hi! Up lagi hehehe
Upnya udah kaya minum obat ya, 3x sehari hehehe
Jangan lupa vote dan komen^^

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang