Caiden senang sekali sore itu, ajakannya untuk berkeliling taman Madjkarta di terima oleh keluarga Saad. Sore itu juga dia mengenakan pakaian terbaik yang berada di balik lemari pakaian jatinya. Caiden tidak dapat menahan senyumannya.
Keluarga kedua belah pihak itu berada di belakang pasangan yang tengah menjalin kasih di depan mereka. Haniya menggandeng anak keempatnya dengan erat. Sementara Hamish menggandeng keponakannya, mendekatkan Aghnianya agar tidak menjauh.
Mata Caiden sesekali melirik Aghnia, karena pria itu tidak percaya Sang Kakak memberikannya izin untuk mendekati adiknya. Namun, tatapan Aghnia datar dan ketus. Caiden sampai bergidik dan mencoba tidak memedulikan wanita itu.
Ditengah taman yang luas terdapat sungai yang membentang dan seluruh bangsawan pada siang itu terlihat bersorak karena para pendayung sedang melakukan latihan Pacu Jalur di sungai.
Seperti yang diketahui, perlombaan mendayung itu dilakukan dua tahun sekali untuk memperingati hari jadi Madjakarta. Pertengahan Agustus nanti akan ada upacara yang digelar ya g dibuka oleh perahu-perahu itu.
Keumala terlihat penasaran dan mendekat. Beberapa orang bersorak dan terpana dengan penari yang berada di tengah kapal. Gerakannya begitu molek dan seimbang di atas perahu yang dikayuh cukup cepat.
"Cut Kak, lihat. Bukankah itu Tuan Karunasankara?" Keumala menunjuk pria dengan kaca mata karetnya yang tua. Dengan tubuh yang tidak terlalu besar, pria itu terselip diantara pendayung lainnya. Itu terlihat kontras karena dia seperti terpaksa ada di sana. Apalagi dengan wajah polosnya.
Aghnia menahan tawa dan Caiden tidak suka itu. Pria itu tiba-tiba berdiri menghalangi pandangan Aghnia untuk menonton aksi Rendjani yang lugu. Aghnia sampai harus berjinjit dan mengikuti arah perahu itu. Namun Caiden terus menutupnya sampai perahu itu menghilang dan disusul oleh perahu-perahu lainnya.
"Mereka cepat sekali," ujar Keumala takjub dengan aksi para pendayung itu.
"Tentu saja mereka harus cepat. Pendayung dari Batavia harus menang." Caiden berucap dengan percaya diri. Walau dihatinya ia berharap pendayung Senopati dapat menduduki tempat pertama nantinya.
Caiden memposisikan dirinya ketika melihat kancing di pergelangan tangan Keumala yang terlepas. Ketika kembang kemboja itu ingin mengancingnya, Caiden terlebih dahulu mengaitkannya. "Biar aku saja, Nona Keumala."
Dengan lembut dikancing kancing itu dan ia juga sengaja melambatkannya agar orang-orang dapat melihat. Sementara Aghnia membuang wajahnya. Haniya dan Dhara terlihat bahagia. Mereka berdua saling pandang dengan senyum yang tak pudar.
"Tuan Hamish, aku rasa pernikahan ini akan semakin dekat. Apa bisa dilaksanakan setelah perayaan hari jadi Madjakarta? " tanya Haniya bersemangat.
"E-em... Aku rasa itu dapat kita bicarakan lagi, Nyonya Abrata." Senyuman Hamish begitu manis dan ia kembali menggandeng keponakannya—Aghnia untuk berjalan-jalan sore di taman Madjakarta.
"Mama, jangan terlalu mendesak. Kita harus bersikap lembut dan mencoba tenang. Mereka akan memutuskannya segera," ucap Dhara menenangkan ibunya yang terlalu bersemangat.
"Benar juga, Mama tidak sabar mencari renda terbaik di rumah mode Madam Anne untuk pernikahan Caiden," seru Haniya riang. "Kira-kira warna apa yang harus aku pilihkan ya?"
"Mama, bukankah Nona Saad sudah pernah menikah? Dan dimana suaminya?" tanya Dhara tiba-tiba kepada ibunya.
Haniya memberikan tatapan agar Dhara memelankan suaranya. Gosip pernikahan Aghnia cukup dikenal lima tahun yang lalu. Tetapi belum ada satupun orang yang mengetahui siapa suami dari anak tertua Saad ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02
Narrativa StoricaAroma Kencan Abrata. All right reserved ©2021, Ani Joy KONTEN DEWASA (18+). KEBIJAKSANAAN PEMBACA DISARANKAN. PEKERJAAN INI TELAH MENGIKUTI WATTPAD PEDOMAN UNTUK RATING DEWASA. Berawal dari tawaran, dua anak adam membuat tawaran perjanjian yang terp...