Innerchild - 35

76 9 3
                                    

Aliya, Sabila, dan Rahma berada di rooftop rumah Abi. Mereka bertiga asik bernyanyi sembari mengagumi keindahan cakrawala yang berhiaskan bintang-bintang. Membuang penat, lelah, dan stres akibat kasus yang terjadi kemarin. Merangkul kembali kebahagiaan agar sembilu yang masih tersisa di dalam dada, tidak terasa terlalu menyeruak.

"Kukira kita asam dan garam dan kita bertemu belanga kisah yang ternyata tak seindah itu ...," Sabila dan Aliya kompak menyanyikannya dengan merdu. Sedangkan Rahma, memetik gitar.

"Ku-"

Belum sempat reff dari lagu "Hati-Hati di Jalan - Tulus" itu dinyanyikan, mereka dikagetkan dengan kehadiran Alvin yang baru saja naik ke rooftop. Sebagai perempuan, sudah menjadi fitrahnya untuk merasa malu.

"Gak tepat datangnya," gerutu Sabila, karena Alvin datang di saat mereka sedang bernyanyi.

"Sab, yuk!" ajak Rahma sembari mengisyaratkan sebuah kode.

"Eh, iya, ayuk!"

Aliya hendak mengikuti langkah kedua kawannya, tapi lekas Rahma dan Sabila mencegahnya.

"Lo gak bisa ikut, Al," ucap Rahma.

"Hah?"

"Kalian berdua, butuh quality time bersama sebagai adik dan kakak," tambah Sabila sembari mengelus pundak Aliya.

Rahma dan Sabila pun lantas berlalu meninggalkan mereka berdua di rooftop. Membuat hati Aliya terasa ketar-ketir. Rasa canggung seketika merasuk ke dalam jiwanya. Padahal, ini bukan kali pertama mereka bertemu dan mengobrol bersama.

Alvin menghampiri Aliya, lalu memberikan satu cup mi instan rasa ayam bawang kepada Aliya. Tanpa sepatah kata, Alvin menyodorkannya. Begitu pun Aliya, tanpa sepatah kata apa pun, ia menerimanya.

Di saat Alvin tengah berkutat dengan pikirannya, mempertanyakan mengapa Aliya menjadi tak acuh kepadanya jika ia sudah mengetahui tentang Alvin, ia pun terpikir untuk membuka gawainya terlebih dulu. Supaya pikirannya tidak overthingking, ia pun membuka instagramnya untuk scrolling di jelajah. Akan tetapi, sebelum membuka bagian jelajah, sebuah story instagram dari akun Sabila, membuatnya tertarik untuk membukanya.

Putri dari Abi dan Umi itu, memposting foto anak-anak asrama putri. Lalu, di story berikutnya, ada fotonya bersama Rahma dan juga Aliya. Alvin pun melihat kapan Sabila memposting foto tersebut. Rupanya, baru dua menit yang lalu. Alvin pun berpikir untuk mengirimkan pesan.

Kamu tau aku kakaknya Aliya?

Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi berbunyi. Sabila membalas pesan yang Alvin kirimkan.

Tau
Eh, Alvin juga udah tau? Aliya bilang, kamu belum tau soal itu.

Baru tau semalam
Boleh minta tolong?

Dari sanalah, Alvin mengutarakan keinginannya untuk berbincang berdua bersama adiknya. Sehingga, Sabila dan Rahma tidak terlalu kaget saat Alvin datang ke rooftop, karena mereka sudah tahu soal itu. Mereka hanya kaget, Alvin datang ketika mereka sedang bernyanyi saja.

"Duduk di sana, yuk!" ajak Alvin sembari menunjuk sebuah bangku kayu panjang.

Aliya membalasnya dengan anggukan.

Mereka berdua pun duduk di bangku tersebut. Namun, rasa canggung terasa begitu kental dirasakan. Mungkin, sebuah realita yang mencengangkan, membuat kedua remaja tersebut merasakan efek batin yang luar biasa. Waktu di tepi sungai, mereka mengobrol begitu akrab dan bebas. Kini, justru tak terasa sebebas biasanya.

"Gak nyangka, ya," kata Alvin setelah mengunyah lembut mi instan yang ada di tangannya.

Aliya tertawa canggung. "Hehe ... iya."

Alvin menghela napas panjang. Respons Aliya begitu singkat, membuatnya harus berpikir keras untuk menyampaikan pertanyaan atau perkataan lain.

"Setelah ini, kamu bukan hanya punya Simbok, Mbak Wina, dan Bryan. Sekarang, kamu punya aku dan Mamah juga."

Aliya yang tengah memasukkan mi ke dalam mulutnya, tak tahu harus mengatakan apa. Kesenduan yang dirasakannya begitu kuat, bahkan matanya sudah menimbun tetesan bening di balik pelupuk mata.

"Kalau kamu ada keperluan apa pun, kamu bisa beritahu kami, Al. Jangan sungkan, kami juga keluargamu."

Aliya menaruh cup mi instannya di sebelah tempatnya duduk. Ia merasa lemah, tak mampu menahan bulir-bulir bening di matanya yang jatuh. Tangannya lekas hendak mengusap, tapi Alvin dengan cepat memegang tangannya.

"Jangan dihapus. Kalau mau nangis, nangis aja. Biar kamu lega, Al."

Aliya semakin terisak-isak setelah mendengar hal tersebut. Lekas Alvin menaruh cup mi instan di sisinya yang lain, lalu menyandarkan kepala Aliya di pundaknya yang kokoh.

"Dua bulan, kamu pendem itu sendirian. Perasaan kamu pasti campur aduk, kan? Bahagia, sedih, marah, kesal, khawatir. Aku paham, Al."

"A-aku benci ...," ungkap Aliya susah payah, karena napasnya tersenggal-senggal akibat sesak, dan tangis yang terasa sulit untuk diredakan.

"Benci sama diri sendiri," lanjut Aliya.

Alvin mengeratkan genggamannya dengan tangan Aliya.

"Kenapa, Vin?" Aliya mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu Alvin, lalu ia pun menatap manik mata Alvin. "Kenapa aku harus merasakan pahit dari perbuatan mamah? Mamah yang merusak pernikahan mamahmu, udah bikin Bu Farah sedih, tapi kenapa aku yang tersiksa selama lima belas tahun ini, Vin?"

Alvin yang menyaksikannya, tak bisa menutupi rasa iba. Hampir saja air matanya menitik, tapi lekas ia tahan sekuat tenaga. Ia harus bisa menguatkan adiknya yang bukan hanya merasakan fatherless, tapi juga motherless. Innerchild Aliya parah. Ditambah lagi, di usia ini, yang kata orang, merupakan fase pencarian jati diri, pasti berat sekali bagi Aliya untuk menjalaninya.

"Aku juga, hiks ... aku selama ini jauhin kamu," Aliya menunjuk dada Alvin, "berat, Vin."

"Aku gak mau, kamu tau soal ayah, seperti halnya Bu Farah yang gak mau kamu tau soal ayah. Selain itu, aku juga gak mau, jadi beban baru di kehidupan kamu."

Alvin meletakkan telunjuknya di depan bibir, "Ssstt ...." Alvin memegang kedua pipi Aliya, lalu berkata, "Jangan pernah berpikir, kamu adalah beban untuk kakakmu ini. Justru, aku senang sekali, sangat senang. Aku bisa merasakan indahnya bersaudara lewat kamu, Al. Kamu itu adik yang paling istimewa."

"Aaaa ... mau nangis," kata Rahma yang sudah meneteskan air mata, tak kuat menahan nuansa haru dari pemandangan yang ia lihat.

Sabila yang juga terharu, langsung memeluk Rahma.

Ya, mereka baru saja datang kembali ke rooftop, karena gawai Sabila ketinggalan di sana.

Namun, selain mereka berdua, Alpha dan Ghani juga ikut naik ke rooftop. Mereka diminta Alvin untuk datang dan membawakan bingkisan yang Farah titipkan sebelumnya untuk Aliya. Mereka berdua juga sama terharunya tatkala melihat hal tersebut.

"Pha, boleh peluk, gak?" tanya Ghani dengan raut wajah sedih. Berharap, bisa berpelukan seperti halnya Sabila dan Rahma.

Alpha yang sedang larut dalam suasana melankolis di malam tersebut, seketika bergidik ngeri setelah mendapat pertanyaan itu dari Ghani. Ia bergeser posisi, agak jauh dari Ghani.

"Lebih baik kamu, jauh-jauh dari saya. Baru denger pertanyaan kamu aja, saya udah geli sama merinding, tau!"

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang