BAB XXXVII Penyergapan

9 5 8
                                    

Tiga orang pria terlihat berkumpul di dalam sebuah gubuk di tepi desa yang berbatasan langsung dengan hutan. Mereka menutup semua pintu dan jendela tanpa membiarkan celah agar orang lain tak dapat mengintip. Mereka juga memadamkan seluruh lampu membuat seakan-akan penghuni gubuk tersebut telah terlelap. Dalam kegelapan malam, mereka berkumpul mengelilingi meja dengan lilin yang menyala.

"Jadi, apa kau menemukan penyusup itu?" ucap Jaladhin membuka pertanyaan.

Panditya mengangguk. Pria itu lantas memperlihatkan sepucuk surat yang diambilnya tadi. "Aku mendapat surat itu dari Cip, peliharaan Gala."

Jaladhin terpenganga, "Gala? Jadi selama ini dia yang–"

"Benar, dia mengikuti ku kemari dan membocorkan percakapan kita pada yuwaraja. Ia juga yang memberitahunya bahwa Eila adalah keturunan terakhir Santika," pontong Panditya.

"Astaga, aku masih sulit percaya. Jika Zyandru mendengar hal ini, ia pasti merasa kecewa," balas Jaladhin.

"Sejak mendapat kabar dari Tara, aku mulai mengirimkan surat pada sekutu agar segera kemari. Cepat atau lambat peperangan ini akan segera terjadi. Terlebih lagi kini mereka mengetahui kebenaran tentang Eila. Dia pasti menjadi sasaran utama kerajaan," jelas Pandya.

"Kau tak memberi tahu kami jika meminta mereka untuk datang," balas Jaladhin.

"Keadaannya mendesak. Eila memperlihatkan tanda birunya dan melawan para penjaga perdamaian di Kota Brata. Kerajaan tak mungkin diam saja melihat tindakan Eila. Mereka akan menganggap Eila memancing peperangan. Oleh karena itu kita harus siap, peperangan ini bisa pecah kapan saja."

"Tapi, dia baik-baik saja kan? Apa dia terluka?"

"Tidak Jaladhin. Dia tidak terluka sedikitpun. Chitesh membantu mereka saat di Kota Brata."

Jaladhin menghembuskan nafas lega. Selama berbulan-bulan ia terus memikirkan keadaan putrinya. Terlebih lagi mereka tak bisa saling bertukar kabar sehingga pikiran negatif sering kali memenuhi benaknya. Meskipun gadis itu bukan anak kandungnya, tetap saja ia merasa khawatir.

"Tapi kak, apa kau telah menyiapkan tempat untuk kedatangan sekutu kita?" tanya Panditya.

Pandya mengangguk, "Mana mungkin aku belum menyiapkannya. Dengan bantuan kaki tanganku, persenjataan kita sudah aku kumpulkan disana."

Mereka menganguk paham.

"Setelah peperangan, tahta ini akan kosong. Kita tak mungkin mengangkat yuwaraja atau pun pangeran kedua untuk menduduki tahta. Mereka yang terlibat dengan kejahatan busuk ini," ujar Jaladhin.

"Aku setuju. Seandainya Pangeran Laksmana bisa kita temukan, kita bisa memberikan tahta ini padanya," balas Panditya.

"Tapi, Pangeran Laksmana telah menghilang sejak lama. Bahkan sebelum Tarachandra diangkat sebagai yuwaraja pengganti. Kecil kemungkinan kita dapat menemukannya, terlebih lagi kita tak tahu apa ia masih hidup atau tidak," timpal Jaladhin.

Pandya mengangguk paham. "Kalau begitu kita harus menyerahkan tahta ini sementara kepada sang kesatria."

Mereka terdiam, menatap pemimpin pemberontakan ini.

"Setelah peperangan kita harus menyerahkan tahta yang kosong itu kepada Eila untuk sementara waktu, sampai kita mendapatkan priyayi pengganti. Dia adalah satu-satunya keturunan Santika yang tersisa. Masyarakat juga pasti akan menyetujui hal itu. Jika kita tak melakukannya dan menunggu beberapa waktu untuk mencari pengganti kemungkinan besar akan terjadi pertumpahan darah antar priyayi karena memperebutkan tahta itu."

Kedua pria itu mengangguk paham.

"Baiklah. Kalau begitu kita hanya perlu memberitahukan hal ini kepada ketua sekutu di wilayah lain," ujar Panditya.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang