. . . . . . . . . .
Ini sudah tiga hari sejak Mica mengadu tentang kos dan kondisinya ke Lianka. Semakin berjalannya waktu, kegiatan di kampusnya semakin banyak karena dia baru mengikuti UKM di kampusnya. Sekarang tepat pukul jam 20.00 WIB dia baru bisa menghempaskan badannya di atas kasur. Tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Dia harus membicarakan hal ini dengan kedua orang tuanya malam ini juga.
Mica mengubah posisinya menjadi duduk lalu memindahkan dirinya ke depan meja belajar, tangan kanannya mengambil kapas sedangkan yang kirinya mengambil micellar water. Dia membasahi kapas dengan micellar water kemudian membersihkan wajahnya yang penuh dengan debu itu. Rasanya ingin sekali dia tidur sekarang tapi apa boleh buat, tubuhnya tidak akan bisa dibawa tidur kalau dia tidak mandi.
Mica melempar kapas ke dalam tong sampah yang ada disamping meja belajarnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk memulai ritual mandi yang sudah didamba-dambakan tubuhnya.
Selesai mandi dan memakai bajunya, Mica segera keluar dari kamarnya. Dia membaringkan dirinya di atas karpet ruang temgah. Matanya terpejam, tak lama terdengar hembusan nafas lelah dan frustasi dari mulutnya. Telinganya mendengar ada seseorang yang duduk tepat disebelahnya.
"Udah makan?" tutur lelaki yang berusia 47 tahun yang biasa dipanggil Ayah itu. Dia duduk sambil memperhatikan putrinya yang masih berbaring.
Anak sulung itu membuka matanya, "Udah tadi Ayah."
"Kenapa baru pulang, Kak?" tanyanya lagi sambil mengelus pucuk kepala Mica lembut.
"Tadi ada pertemuan buat anggota baru UKM, Ayah." Mica duduk, sekaranglah waktu yang tepat untuk membujuk ayahnya. Jarinya tanpa sadar meremas baju tidurnya untuk mengumpulkan keberanian.
"Ayah, aku udah gak kuat lagi bolak-balik kampus ke rumah tiap hari. Kegiatan aku makin banyak, pulangnya makin lama. Aku mau ngekos, Yah." Kata Mica yakin, dia tidak boleh ragu dengan perkataannya. Kalau itu terjadi, sudah pasti akan menggoyahkan rasa yakin orang tuanya juga.
Lelaki yang duduk bersila di samping Mica itu menatap anak gadisnya tak tega, "Capek banget ya?" katanya sambil kembali mengelus rambut Mica.
Mica mengangguk kuat, "Ini udah lemes banget, aku yakin besok pagi badan aku bakal panas," lirihnya murung.
Mumtaz terdiam memikirkan bujukan anaknya yang kini menatapnya penuh harap. Sungguh berat rasanya melepas anak gadisnya untuk kos, dia tidak bisa lagi memantau kegiatan anaknya 24 jam penuh. Dia takut anaknya tidak bisa menjaga diri dan masuk ke pergaulan bebas. Tapi, dia juga tidak bisa mengurung anaknya terus-terusan. Bagaimanapun juga, kesayangannya ini harus mencoba hidup mandiri dan bisa belajar bertahan hidup.
Melihat anaknya yang selalu lesu dan tidak bersemangat pulang setiap kerumah membuatnya tak tega untuk menahannya tetap dirumah saja. Dia pun tidak bisa siap 24 jam untuk mengantarkan atau menjemput anaknya kuliah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENAVI
Teen FictionSetelah putus dari pacarnya, Mica tak menyangka kalau dia akan menemukan laki-laki yang sangat memperhatikannya dengan baik. Lelaki yang memperlakukannya berbeda 360° dari mantan pacarnya. Mica benar-benar dijadikan ratu yang membuat luka dihatinya...