tangisan

2.8K 166 11
                                    

karna gue udah ga update selama satu minggu, part ini gue panjangin! happy reading!


"Hai, Ma," ucap Shania diiringi dengan hembusan angin yang menerpa wajahnya dengan manja. Dia sudah membawa seikat bunga tulip berwarna merah. Dirinya ingat sekali, Mamanya sangat suka dengan bunga tulip.

"Selamat ulang tahun yang ke 45, Ma. Shania sayang Mama," ujarnya sembari meletakkan bunga tulip yang telah dia beli di atas nisan Mamanya.

"Ma, mungkin ini kunjungan Shania yang terakhir ke makam Mama. Shania sebentar lagi pasti akan diusir sama Papa dari rumah. Mama jangan khawatir, Shania pasti akan baik-baik aja," Shania seperti merasakan keberadaan Mamanya di sini, dirinya tidak bisa membendung air mata lagi. Padahal, sudah 15 tahun Mamanya meninggalkannya.

"Ma, maaf Shania udah jadi anak yang bandel. Shania ga bisa menjadi gadis yang Mama inginkan. Shania lebih dari nakal, Ma. Ma, Mama harus tau kalau Shania sayang sama Mama. Mama yang tenang, ya, di sana. Doain Shania biar kuat hidup di dunia. Doain Shania agar tidak memiliki niattan untuk bunuh diri.

"Sesungguhnya, Shania udah ga kuat hidup lagi, Ma. Shania capek dengan drama yang selalu datang bertubi-tubi menuju Shania. Shania lemah, Ma. Mama tau 'kan, kalau Shania lemah? Shania ga bisa ngelakuin semuanya sendiri. Shania butuh Mama."

Shania menghapus air matanya dengan gusar. Dia benci dengan kenyataan bahwa dirinya sangat lemah. Dia benci dengan aktingnya yang berpura-pura kuat di depan semua orang. Dirinya terlalu munafik.

"Ma, Shania janji ini terakhir kalinya Shania nangis di makam Mama. Shania gamau Mama juga ikutan sedih di sana. Shania pulang dulu ya, Ma. Shania harus menyiapkan mental untuk mendengar caci-maki Papa."

Shania mencium batu nisan Mamanya, dan mulai melangkah pergi. Bersiap-siap menerima apapun yang akan Papanya katakan. Apapun keputusan Papanya.

Setelah dia memasuki mobilnya, Shania menghidupkan radio dan mulai menjalankan mobilnya. Berusaha dengan sekuat tenaga menghilangkan bayang-bayang amarah Papanya yang sudah menunggu di depan mata. Shania bahkan tidak sanggup untuk membayangkannya. Bagaimana reaksi Papanya nanti?

Dari awal, Shania sudah yakin dirinya akan diusir dari rumah. Tapi, Shania tidak tau kemanakah Papanya akan membawanya. Shania tidak kuat membayangkannya, terlebih dirinya pasti berpisah dengan Calvin. Padahal, hubungan kedua kakak beradik itu sudah semakin membaik.

Papanya pasti akan marah besar. Mungkin, akan menamparnya sekuat tenaga. Ah, tidak apa-apa. Shania sudah kebal dengan teriakan bahkan tamparan Papanya. Shania sudah biasa menerima semua itu.

Tak terasa. Srpuluh menit sudah terlewat. Kini, gerbang mewah rumahnya sudah berada di depan mata. Shania menarik napas panjang lalu membuangnya. Bersiap menerima apapun yang akan dilakukan oleh Papanya nanti.

Shania memasuki rumahnya dan memarkir mobilnya di bagasi seperti biasa. Setelah mobil berhenti, Shania membuka pintu dan mengambil tasnya lalu membawanya.

Sebelum membuka pintu utama, Shania menarik napas terlebih dahulu. Shania berdoa supaya Papanya tidak melakukan kekerasan yang dapat membuat tubuhnya cacat. Ah, sudahlah. Dia mengkhayal terlalu jauh.

Shania membuka pintu di depannya, dan seiring dia membuka pintu utama, terlihatlah tubuh Papanya yang sedang berdiri tegap dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Shania menghela napas. Dia kuatkan hatinya berkali-kali dan berusaha menerima apapun yang akan dilakukan oleh Papanya.

"Di DO? Wow, kamu ternyata lebih nakal dari yang Papa bayangkan," ujar lelaki dewasa itu dengan seringai menyebalkan di wajahnya

Behind The MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang