Cokelat. Tak salah mereka menobatkannya sebagai Buah Para Dewa. Hebatnya, aku sebagai manusia bisa mencicipinya. Perkenalkan namaku Pram dan aku benci cokelat. Berbulan-bulan lalu di sudut kota kecil bernama Betung, aku menjumpai seseorang dengan sekotak cokelat di tangan. Itu bukan hari valentine, itu adalah hari pemakaman. Pemakaman atas rasaku yang paling dalam.
Langit-langit cerah, tapi hatiku mendung. Air mata tak terbendung, untungnya aku memakai kacamata hitam. Sehingga tak ada yang tahu aku menangis. Cokelat yang kupegangi ini rasanya sudah meleleh dibakar matahari, menandingi leleh air mata. Aku menangis. Hanya itu yang aku lakukan. Menangis.
Waktu berlalu. Tersisa diriku masih menatap pusara dihadapanku, melintang utara selatan. Helaan nafasku mengembun di kacamata, aku melepaskannya. Toh, sudah sepi.
Cokelat, rasanya manis. Diolah dari biji cokelat yang awalnya pahit. Namun perasaan ku sekarang ini terbalik. Semuanya kenangan manis dan indah, berakhir pada pahit dan gundah. Aku tak kuasa memutar waktu. Kunikmati saja kesalahanku ini, segala hitamku pada masa lalu ku yang telah terbawa angin sendu. Membiasakan diri tanpamu.
Ibu, maafkan aku telah ingkar. Menjumpaimu yang sudah berkalang tanah cokelat. Terlambat memenuhi janjimu, terlambat memberikan manisnya cokelat yang kau inginkan. Walau aku tahu bukan cokelat yang sebetulnya kau minta, tapi kau hanya ingin diriku untuk pulang, menemuimu.
Aku benci sekotak cokelat yang kubawa, terlambat.