Senja berlalu, Pram masih menekuri pekerjaannya. Di atas meja menumpuk berkas-berkas yang harus ia periksa. Di sudut meja ada gambar ia dan sang ayah sedang liburan di kebun teh, sekitar dua tahun lalu.
Telepon genggam Pram berdering, bergetar di permukaan meja. Pram menekan tombol terima, dan suara diujung sana mengucap salam
"Assalamualaikum Pram "
Pram membetulkan posisi headsetnya, "Iya, Wa'alaikumsalam yah"
"Apa kabarmu Nak? Sudah pulang dari kantor kah?" Suara di ujung sana sedikit cemas
"Belum yah. Tapi aku sehat kok" jawab Pram sedikit lemas
"Sudahlah Pram, ayah tidak perlu lagi kau bohongi. Kamu sedang 'tidak' baik-baik saja kan?" Sang ayah menerka
Pram terjebak dalam keheningan sambungan telepon hari itu. Mendeham panjang sambil menutup bagian mic headsetnya.
"Benar Ayah, aku baik-baik saja. Ayah bagaimana kabar disana? " tanya Pram balik
"Yah beginilah nak, ayah selalu sehat. Tapi ayah khawatir kamu yang kenapa-kenapa"
Pram mematikan komputer dihadapannya, merapikan meja kerjanya bersiap untuk pulang. Namun di luar terdengar suara air, gerimis melukis jendela. Berarti ia harus menunggu hujan reda.
"Kenapa Pram? Ada yang dirimu khawatirkan?" Tanya sang ayah
"Aku ingin menikah Yah"
Sang ayah sedikit kaget bercampur gembira mendengarnya. Anak semata wayangnya akan memberinya cucu.
"Oh ya, kenalkanlah Ayah dengan calon istrimu"
Pram menggeleng, "Belum ada yah"
"Lho, tapi bukannya kau ingin menikah Pram. Kenapa belum ada calon? "
"Aku ingin Yah, tapi sepertinya jodoh masih di tangan Tuhan" ujar Pram
"Nak, Jodoh memang di tangan Tuhan. Tapi kalau tidak ada ikhtiar baik usaha berdoa untuk mendapatkannya jodoh ya tetap di tangan Tuhan"
Pram terhenyak. Tangannya memutar-mutar gelas berisi kopi yang sedang ia minum. Matanya menerawang ke langit ruangan.
"Pram, ayah tahu sudah begitu banyak yang engkau korbankan di kehidupanmu. Di kehidupan pertamamu, tapi ingat Nak-" Sang ayah memberi jeda, Pram menunggu.
"-ada kehidupan kedua yang harus engkau persiapkan. Kehidupan yang kekal abadi. Di akhirat kelak"
Sang ayah melanjutkan sedikit terbatuk-batuk
"Umur tidak ada yang tahu anakku, sekalipun kau mencarinya dalam buku di perpustakaan terlengkap tidak ada yang menerangkan begitu jelas kapan kita memasuki kehidupan kedua"
Pram membenarkan kerah bajunya. Sepintas bayangan Ibu nya terpampang di jendela. Raut wajahnya sedih, seakan ikut iba mendengar percakapan itu. Namun Pram segera memejamkan matanya, ibu sudah tidak ada.
"Pram, ayah tidak mau kamu menyiksa diri dalam rutinitas kerjamu itu. Ayah ingin kau menyegarkan pikiran. Datanglah ke rumah pamanmu di Surabaya sana. Siapa tahu kau dikenalkan dengan anak didiknya di pesantren. Dan satu lagi Pram, Pernikahan adalah penyempurna ibadah kamu, itu juga demi kehidupan kedua kamu kelak"
"Terima kasih ayah, tapi bukan zamannya lagi dijodoh-jodohkan seperti Siti Nurbaya"
Sang Ayah menjawab sedikit tertawa, "Ayah hanya bisa memberimu nasehat Nak, kehidupan kamu adalah pilihanmu. Kamu sudah dewasa Pram, bukan sekedar membedakan baik dan buruk lagi. Kamu laki-laki harus berani memutuskan"
"Baiklah Yah"
"Jaga dirimu Pram, jangan lupakan Tuhan. Sebelum ia melupakan kamu. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam" Percakapan terputus.
Hujan telah reda. Pram bergegas pulang, sebelum hujan datang kembali.
Jodoh di tangan Tuhan, pabila tak ada ikhtiar tetap di tangan Tuhan. Itu prinsip Pram sekarang.
Baru beberapa langkah Pram menyebrang jalan terdengar bunyi rem mendecit panjang. Seberkas cahaya menyeruak pandangan Pram.
Braaak.
Kemudian gelap.