BAB XXXXI Menerka-Nerka

10 5 11
                                    

Dalam ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang seorang pria duduk bersandar pada dinding. Ia menatap lurus pria lain yang ada di seberangnya.

"Sudah semalaman saya memikiran cerita Yang Mulia dan saya masih tidak habis pikir mendengarnya," ucap Jaladhin.

Pria itu tak membalas perkataannya. Ia hanya tersenyum tipis meskipun sorot matanya tampak sedih.

"Tarachandra memang biadab! Tega sekali dia mengurung Anda hanya, karena ingin merebut tahta!"

"Bukan hanya"

"Bagi orang-orang seperti mereka, tahta tak sebatas kata 'hanya'. Karena dari atas tahta kau dapat melihat semuanya dengan jelas. Membuat setiap orang tunduk patuh padamu. Nyaman memang, tapi tahta akan membuatmu merasa kesepian," sambung pria itu lagi.

"Iya, tapi pangeran bukankah ini sangat keterlaluan?"

"Entahlah. Mungkin aku masih beruntung karena tidak dibunuh olehnya," balas pria itu sembari tertawa hambar.

"Pangeran Laksmana! Tidak ada kata mending dalam hal ini! Dia sengaja mengajak Yang Mulia berburu di malam hari, karena tahu Yang Mulia menyukai hal itu. Tanpa ada seorang pun yang tahu dia membuat Yang Mulia pingsan dan membuat seolah Yang Mulia menghilang sebelum penobatan. Dia sengaja membuat Yang Mulia seolah hilang akibat berburu di malam hari! Dia benar-benar sudah gila! Dan apa Yang Mulia tahu? Tarchandra juga membunuh mendiang Raja Zafar dan Ratu Jyotika!" bantah Jaladhin dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Apa?! Tarachandra membunuh ayah dan ibu?!"

Jaladhin mengangguk, "Setelah kenaikan tahta dia membunuh mereka agar tidak ada lagi yang mengendalikannya. Dia juga membuat kesaksian palsu sehingga orang tidak bersalah harus mengalami hukuman gantung. Oh tidak hanya itu. Raka sahabat sendiri pun turut dia bunuh. Saya benar-benar tidak habis pikir dengannya!"

"Dia benar-benar tak ingin ada yang menyentuh tahtanya!"

"Benar Yang Mulia, terkecuali putra pertamanya, Yuwaraja Gavin. Anak itu sama saja seperti ayahnya!"

Laksmana menghembuskan nafas beratnya mendengar ucapan Jaladhin. "Tapi, apa daya? Kita terjebak disini. Tak ada yang bisa mengeluarkan kita," ucap Laksmana pasrah.

"Tidak! Mereka tidak akan diam saja membiarkan saya disini! Saya tahu mereka akan membuat rencana! Bahkan jika mereka tidak membebaskan saya, mereka pasti akan langsung berperang!"

"Mereka?!" tanya Lanksmana bingung.

"Iya, mereka para pemberontak Chandramawa. Mereka yang akan menggulingkan tahta Tarachandra."

"Tapi, apa jumlah mereka sepadan dengan prajurit kerajaan? Jika, tidak mereka sama saja dengan bunuh diri," balas Laksmana.

"Memang jumlah mereka tidak sebanyak prajurit kerajaan, tapi prajurit itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan keahlian mereka. Lagi pula keturunan Santika satu-satunya dengan tanda biru akan membangunkan Garuda. Dia akan memimpin peperangan ini dan meraih kemenangan," ujar Jaladhin yakin.

"Satu satunya? Memang apa yang terjadi dengan klan Nirwasita?" bingung Laksmana.

Jaladhin terdiam, "Apa Yang Mulia tidak mengetahui apa yang terjadi selama ini?"

Laksmana menatap datar pria dihadapannya itu. "Bukankah aku sudah pernah bisa jika aku sudah dikurung selama bertahun-tahun?" balas Laksmana dengan raut wajah malas.

"Ya, siapa tahu Yang Mulia memiliki seorang narasumber rahasia."

"Jika, aku punya mungkin aku sudah bersekongkol dengan kalian sejak dulu," timpal Laksana seraya menggelengkan kepala.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang