BAB XXXXIV Pengabdian

9 5 5
                                    

Radev menatap tajam para pengawal yang menondongkan senjata pada mereka. Meskipun dengan kanannya terluka pemuda itu tetap menggenggam erat kapak yang dibawanya.

Jaladhin dan Pangeran Laksmana pun telah diturunkan dari gendongan Jazziel dan rekannya. Felisha juga mencabut anak panah Loka yang menancap dipahanya. Seperti yang terlihat mereka telah siap untuk bertarung.

"Kita harus menyelesaikan ini sebelum pengawal lain berdatangan," ujar Jazziel.

Tanpa basa-basi mereka kini saling menyerang satu sama lain. Darah segar pun menggenang di hadapan mereka. Meski jumlah pengawal itu lebih banyak, tapi tak membuat mereka menyerah begitu saja. Satu demi satu pengawal berjatuhan. Suara sentaja yang beradu pun terdengar memenuhi malam yang sunyi di kerajaan.

Radev membungkukkan badan takala sebuah tombak melayang ke arahnya. Saat Radev berbalik, matanya membelak melihat Jazziel tergeletak. Tombak pengawal itu menancap pada dada Jazziel dan membunuhnya di tempat.

Tiba-tiba tubuh Radev tertarik oleh sebuah rantai besi. Sebilah pedang pun berhasil menggores kakinya, membuat sang pria tersungkur.

"Kak fokuslah!" ucap Faleesha.

Gadis itu lantas memainkan kembali senjatanya. Melindungi rekan-rekannya yang tersisa.

"Ayo kita harus keluar sebelum pengawal lain datang," ucap Faleesha.

Gadis itu kini memapah saudara kembaranya. Sementara itu Aksa membawa Radev dan dua pria lainnya membawa Jaladhin dan Pengeran Laksmana.

Mereka berjalan cepat melewati luasnya Kerajaan Reswara. Sesekali mereka harus berhenti untuk menghindari para pengawal.

Faleesha memimpin dan membawa mereka keluar melalui gerbang samping yang terletak tak jauh dari posisi mereka. Gerbang itu biasa digunakan para pelayan untuk keluar masuk istana ataupun melakukan mengiriman bahan makanan.

Mereka semakin mempercepat langkahnya saat tahu pengawal yang ada di gerbang telah dilumpuhkan. Tidak salah lagi ini pasti udah dari rekan-rekannya.

Mereka telah berhasil kabur meninggalkan Kerajaan Reswara. Kini mereka harus sangat waspada saat melewati pemukiman. Pasalnya penjaga perdamaian yang berjaga menjadi dua kali lipat lebih banyak. Salah pergerakan sedikit saja mereka bisa mengetahui posisi mereka.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya mereka dapat masuk ke dalam hutan. Mereka menghentikan langkahnya guna mengistirahatkan sejenak tubuhnya. Terlebih lagi kedua pria yang menggendong Jaladhin dan Pangeran Laksmana.

Namun, baru beberapa saat mereka kembali mendengar suara para prajurit. Prajurit itu mengejar mereka bahkan sampai ke dalam hutan.

Buru-buru mereka bangkit dan kembali berjalan. Tapi, baru beberapa langkah Radev terjatuh. Luka pada kakinya begitu dalam terlebih lagi setelah ia gunakan berjalan. Darahnya pun terus bercucuran hingga membuat tubuh sang pria memucat.

Radev terdiam beberapa saat. Tubuhnya tak bergerak meskipun Aksa memaksanya untuk berdiri.

"Aksa, tinggalkan aku."

"Apa?! Kau gila ya?!" bantah Aksa.

"Kita semua tak akan selamat jika berjalan sangat lambat! Jadi tinggalkan aku! Aku akan menghambat mereka sebisa mungkin!"

"Ta-tapi–"

"Cepat!" perintah Radev memotong ucapan Aksa.

Tiba-tiba Felisha melepaskan rangkulannya pada sang kakak. Ia menatap yakin Faleesha seraya tersenyum.

"Kakak harus pergi! Aku akan bertarung bersama kak Radev!" Faleesha terdiam mendengar ucapan. Ia menggenggam erat tangan adiknya itu.

"Tidak! Kau harus kembali!" bantah Radev.

"Tidak?! Kau pikir aku akan diam saja melihat mu bertarung sendirian!! Keputusan ku sudah bulat!! Aku akan tinggal bersamamu!!"

"Cepat pergi kak!" ucap Felisha lagi. Gadis itu melepaskan tangan kakaknya. Ia melangkah perlahan mendekati Radev.

"Aksa! Bawa kakakku!!"

Faleesha hendak berlari mendekati adiknya, namun tangan Aksa telah menghadangnya. Pemuda itu membawa paksa Faleesha pergi meninggalkan hutan.

"Feli–"

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu sendiri!" ucap Felisha memotong Radev.

Radev lantas memeluk tubuh Felisha. Pemuda itu juga berusaha menenangkan diri sebelum menghadapi para prajurit. Radev juga melepaskan kain hitam yang menutupi wajahnya.

"Kita selesaikan ini bersama-sama."

Sang gadis mengangguk, ia mengikuti Radev melepas kain hitamnya. Felisha menatap tulus Radev seraya mengusap lembut pipi pemuda itu, "Iya . . . bersama-sama."

Tidak berapa lama prajurit telah berdiri dihadapan mereka. Mengarahkan sentanya seraya menatap tajam keduanya.

Radev pun mengeratakan genggamannya. Begitu pula dengan Felisha. Dalam hitungan detik pertarungan kembali terjadi.

Radev dan Felisha begitu lihai memainkan senjatanya. Meskipun tengah terluka beberapa prajurit berhasil mereka lumpuhkan. Sayangnya, jumlah prajurit itu telalu banyak belum lagi mereka menyerang secara bersamaan.

Sebuah pedang berhasil menggores punggung Felisha membuat sang gadis terdorong ke depan. Radev yang melihat hal itu pun berusaha menangkap Felisha agar tak terjatuh. Namun, sayang bersama dengan itu sebilang pedang berhasil menusuk tubuhnya. Membuat sang pemuda tersung bersama sang gadis.

"Kakak . . . ,"ucap Felisha lirih. Darah mulai keluar dari mulutnya.

Radev pun mengalami hal serupa. Namun, pemuda itu masih tersenyum dan mengusap kepala sang gadis.

"Tutup uhuk . . . matamu Felisha uhuk . . . uhuk . . . Kita . . . sudah berhasil . . . ," ujar Radev sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Kedua pemuda itu tewas di dalam gelapnya hutan. Mereka saling menatap satu sama lain sebelum ajar menjemputnya.

Seorang pria datang dan menyingkirkan prajurit yang menghalangi jalannya. Pria itu mengenakan jubang dengan tudung yang menutupi kepalanya.

Ia berjalan mendekati jasad kedua pemuda yang ada di depannya. Ia berjongkok dan memeriksa wajah gadis itu.

'Mereka terlihat mirip. Aku sedikit kesulitan membedakannya,' batin pria itu.

Sang pria kini beralih. Ia memeriksa sekeliling dan tak menemukan rantai besi yang ada. Sebaliknya, pria itu justru menemukan dua kerambit yang tergeletak di tanah.

'Ini bukan dia. Syukurlah dia berhasil selamat. Maafkan aku, aku datang terlambat dan tak bisa menyelamatkan kembaranmu,' batin sang pria dengan tatapan sedih.

"Tuan Ettan, apa kita harus mengejar yang lainnya?" tanya seorang prajurit yang tiba-tiba berada di belakangnya.

Pria itu berdiri. Ia menghela nafasnya menatap kedua jasad itu. Ia memutar otak, membuat alasan yang masuk akal sehingga mereka tak melihat niat lain dalam diri Ettan.

"Kurasa tidak. Kita harus membicarakan ini dengan Yuwaraja. Aku khawatir saat kita mengejarnya mereka justru membawa kita pada sarangnya. Dan tanpa kita sadari mereka akan membunuh kita seperti kita menbunuh rekannya."

"Baik tuan," ucap prajurit itu.

Tanpa bertanya lagi, mereka lantas berbalik dan meninggalkan Ettan yang masih menatap hutan yang gelap itu. Tatapannya terlihat prihatin. Sesekali ia juga menghembuskan nafasnya dengan berat sebelum berbalik.

"Sagara?!"

Ettan lantas berlari setelah mengingat sang adik. Entah kenapa pikirannya menjadi negatif setelah melihat jasad saudara kembar itu. Belum lama ia tahu jika Sagara adalah adiknya. Jika Ettan harus kehilangan Sagara untuk kedua kalinya, ia lebih baik meninggalkan dunia yang licik ini. Dan sebelum itu tentu ia harus menghabisi yuwaraja yang licik itu.

***

.
.
.
Hi! Aku up lagi^^
Maaf part kali ini lebih pendek:"
Sebenarnya pengen disatuin sama part selanjutnya tapi ntar takut malah kebanyakan.
Okei sekian dulu part kematian kali ini:v
Jangan lupa vote dan komen^^

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang