1

19 1 6
                                    

Khaira namanya, gadis kecil bermata sayu, rambut hitam menjuntai  terlihat ceria mengayuh sepeda sepulang dari sekolah. Nonik, sang mama menunggu di depan rumah sambil melambaikan tangan.

"Kenapa si mamah selalu nunggu Khaira di depan." gerutunya lucu sembari memarkirkan sepedanya.

Nonik tersenyum "emang gak boleh mamah memastikan Khaira sampai dengan selamat di rumah?"

Khaira melepas sepatu dan membawanya ke dalam, berhenti sebentar dan menatap Mamahnya dalam "Mamah, Khaira sudah kelas satu smp. Kata Dewi, Khaira sudah gak perlu ditunggu di depan rumah."

Nonik membereskan sepatu Khaira dan membuka tudung saji yang berisi sop ayam dan paha goreng kesukaan Khaira "Mau sampai Khaira kuliah pun, Khaira masih jadi anak kecilnya Mama."

Khaira berdecak dan diam sebentar. Nonik menangkap gerak-gerik anaknya "kenapa diam sayang? ayo ganti baju kita makan siang. Mama sudah masakin sop kesukaan Khaira."

"Kenapa Khaira cuma punya Mama? dimana Ayah?"

Nonik mematung, dia meletakkan piring yang tadi ia ambil. Mencoba menghela nafas, ini bukan kali kedua atau ketiga, pertanyaan yang berkali-kali dilemparkan Khaira ketika sisi kekanak-kanakkannya muncul. Berjalan pelan ia mengenggam tangan Khaira lembut "Khaira ada apa? ada yang nanya Khaira lagi soal ayah?"

Tak ada jawaban dari Khaira. Nonik mengusap pelan pipi sang anak, rahangnya dan bentuk hidungnya sama persis diwariskan dari sang Ayah. "Mama ini sekaligus jadi ayahnya Khaira. Emang harus orangtua dua? malah Khaira spesial karena punya Mama sekaligus Ayah. Kemarin katanya Khaira bangga punya Mama?"

Khaira jatuh di pelukan Nonik. Nonik tidak ingin menginterfensi tangisan sang anak. Ia mengusap pelan punggung si kecil sambil menguatkan dirinya sendiri untuk tidak menangis dan terbawa suasana dengan ikut meneteskan air mata. Dia harus dan tetap kuat, agar kekuatan itu tumbuh dalam diri Khaira. 

"Khai..ra ditanya sama temen, kenapa cuma punya Mama. Khaira jawab karena Mama Khaira juga Ayah Khaira. terus diketawain dan dikatain aneh hiks...hiks." tangisan sang anak bertambah kencang, Nonik kehabisan kata kali ini. Ada sesak yang selama ini mendiami relung hatinya, tetapi sering ia usir jauh-jauh demi menjadi sosok yang kuat di depan Khaira.

KRINGGG KRINGGG KRINGG

Suara alarm membuat Nonik tersadar bahwa jam 2 dia akan mengantar Khaira ke rumah orangtuanya untuk dititipkan. "Sayang, yuk ganti baju? Khaira harus mama antar ke rumah oma."

Khaira berdiri tergesa "okey Mama, sekalian antar Khaira ke gramedia ya. mau balikin buku Fiona ketemu di sana."

Nonik mengusap air mata Khaira "okey sayang, sekalian nanti beli buku yang kamu pengen ya. buku siapa kemarin? Princess Khaira?"

Khaira terbahak "Bukan mama! Princess Viona!"

"Okey Princess siap-siap, Sayur Sop dan paha kesukaan Princess Mama taruh tupperware nanti dimakan ya di tempat oma?" 

"Iya mama sayang." ucap Khaira berlalu ke kamarnya.

                                                                                               ____

"Khaira, abis ini Mama tunggu di mobil ya? Khaira nemuin temen di lantai 2 kan? nanti kalau udah selesai langsung ke basement, buku Princess Viona nanti sekalian Mama bayar okey?"

Khaira mengangguk "Okey Mama! wait a minute ya!"

Nonik hanya tersenyum kecil melihat punggung anaknya menjauh, kepalanya berdenyut-denyut tetapi ia buang perasaan tidak enak dan melangkah mencari buku incaran sang anak. sebelum membayar dilihatnya sebuah gantungan kunci agak besar berbentuk kupu namun berbahan dasar kertas. Karena lucu dan langsung teringat Khaira, Ia membeli itu sekaligus.

Selesai membayar belanjaan, Nonik menuju mobil dan menunggu Khaira disana. Kali ini peningnya bertambah dengan mual. Ia fokus mengetik mengirimkan pesan kepada sang Mama hingga pintu mobil ditarik dengan kasar "Astaga Khaira, kamu kenapa?"

Khaira duduk dengan membanting pintu lagi, wajahnya merah padam.

Nonik hanya berfikir bahwa Khaira lelah, atau mengira dirinya lupa membelikan buku incarannya maka segera ia tarik sebuah paperbag dari bangku belakang "NIH kesukaan Khaira! Ada gantungan kunci kupu kertas, pasti Khaira suka."

Wajah yang bersungut kini menoleh ke arah gantungan kunci, asumsi soal Khaira lelah ternyata benar. "Kenapa kupu kertas?" cecar Khaira kepo seperti biasa.

Nonik tersenyum, sembari melajukan mobil dia menjawab "Karena mama berharap Khaira yang jadi kupu-kupu asli, yang cantik dan selalu menaburkan benih kebaikan pada siapapun yang ada di sekitar Khaira"

Dari sudut mata Nonik merasa Khaira terdiam dan menatapnya beberapa detik sembari memainkan gantungan kunci barunya itu. Perjalanan ke rumah orangtuanya hanya diisi lantunan lagu dari Jam Jeff Bernat - Still.

Mobil Jazz merah berhenti tepat di depan pekarangan luas nan hijau. Tepat saat Khaira melontarkan sebuah kalimat "Mama sebenarnya kerja apasih? harus ya nginep sampai dua bahkan tiga hari? dan kenapa muka mama selalu kelihatan lelah pas pulang kerja?"

Nonik terbawa suasana "Maksud kamu apa Khaira? Mama capek buat Khaira sekolah sampe tinggi, biar kebutuhan Khaira tercukupi walau Khaira selalu ngotot naik sepeda daripada dianter mama.  Kenapa Khaira gak mau diantar Mama? malu? Omongan apalagi yang masuk ke telinga kamu sam--"

"Mama kaya cewek gak bener tau gak! Khaira malu setiap kerja kelompok di rumah oma terus dan ditanya Mama kerja apa berhari-hari gak pulang. Khaira capek ditanya Khaira malu!" teriakan Khaira semakin lama bagai tamparan di gendang telinganya hingga kesadarannya hilang dan hanya suara "Mama kenapaa! mama!" yang terakhir dia dengar.

  ____

"Khaira kenapa hijabnya gak dipakai?"

"Kita mau kemana oma? Sudah empat hari Mama juga belum jemput Khaira." di ujung ranjang Khaira menekuk wajahnya sambil memainkan kupu kertas pemberian Mamanya.

Sang Oma hanya diam entah mau mengatakan apa.

"Apa Mama masih marah dan sakit karena kata-kata Khaira Oma?" tanya Khaira lagi. Kali ini Ia mengenakan hijab dan berdiri di depan sang Oma.

"Yuk ikut Oma dan kakek. Kita ketemu Mama, dan Ayah Khaira." ucap Erna, sang Oma pelan-pelan.

Khaira tergelak "Wah, serius ada ayah? tapi kata Mama. Khaira cuma punya Mama."

Erna mengenggam Khaira pelan menuju mobil yang sudah berisi suaminya, sang kakek Khaira dan ditemani beberapa sanak saudara. Di perjalanan hening, Erna yang membuka suara "Ayah kamu dulu terkena AIDS. Mama kamu segera memeriksakan diri setelah mengetahui kabar itu, dan kamu masih dalam kandungan."

Seisi mobil menegang, Erna mengenggam tangan suaminya erat seolah meminta sebuah energi lebih untuknya menjelaskan kepada Khaira. Entah tidak menyela seperti biasanya Khaira tetap menunggu kelanjutan dari sang Oma.

"AIDS penyakit berbahaya yang bisa merenggut nyawa seseorang, suatu saat Khaira dewasa Khaira akan tahu apa penyebab dan akibat AIDS. Untungnya bayimu negatif, hanya Mama mu yang terindikasi positif HIV-AIDS. Setahun setelah kamu lahir, Ayahmu pergi meninggalkan kita." ucapan Erna sudah mulai membuat Khaira terisak. Namun Ia tidak mengucapkan perlawanan atau pertanyaan lain selain menunggu Omanya melanjutkan.

"Mamamu terpuruk, kesehatannya menurun. tetapi setelah kamu tumbuh menjadi bayi cantik dan manis Mamamu mulai memperjuangkan semua. Di ulang tahunmu ke 6 tahun,  Mamamu didiagnosa kanker kolorektal. Sejak saat itu kamu ingat Mama sering pamit kerja dan menginap. sampai kamu marah karena di hari pertamamu sekolah Mama tidak datang. Mamamu harus kemoterapi Khaira dan harus selalu diinfus. Jika Mama pulang Mama pucat dan lemas kan? Mama kamu sakit Khaira. Nanti kamu baca ini ya."

Khaira kecil menangis sembari menerima sebuah surat kecil bersampul, memang Ia masih anak kecil tapi ia paham arah pembicaraan sang Mama.  Seisi mobil terisak, sampailah mereka di sebuah pemakaman rapi berpetak-petak "Ayo Khaira, bertemu Mama dan Ayahmu."




KUPU KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang