KEPUTUSAN

77 2 0
                                    

Elenea memandangi pesona jalanan kota di kala senja, gradasi warna orange yang elok tampak serasi jika disandingkan dengan transisi siang menuju malam itu. Tenang, damai, yang dirasakan Elenea, duduk di bangku paling belakang tanpa penumpang yang lain. Hanya saja isi kepalanya itu tampak berisik. Minggu depan, Elenea harus melepas statusnya menjadi siswa. Satu minggu waktu Elenea untuk mengurusi surat pindahan, Pak Alby hanya memberi waktu singkat untuknya.

Helaan napas demi helaan napas terdengar pekat, sampai bus kota yang telah di tekan pedal remnya itu tidak mampu menyadarkan lamunannya.

"Mbak," ucap seorang lelaki dengan sapu tangan yang tersampir di pundaknya. Ia menepuk pelan bahu Elenea, tetapi sang empu terlihat terkejut.

"Apa?" jawab Elenea sedikit meninggi.

"Maaf, mbak. May'S Florist, tempat pemberhentian terakhir. Bus akan diparkirkan kembali di tempatnya." Lelaki itu menjelaskan kepada Elenea yang kini telah beranjak berdiri.

"Oh, baik, Pak. Saya minta maaf, permisi." Elenea segera mengatupkan kedua tangannya, kemudian melangkahkan kakinya satu persatu tangga mini milik bus itu.

Elenea berdiri di atas trotoar, menunggu bus itu benar-benar melaju. Tangannya berayun-ayun untuk memberi isyarat kepada pengendara agar mengurangi kecepatannya sesaat. Dengan langkah kaki tergopoh-gopoh akhirnya Elenea berhasil menyebrangi jalanan kotak yang tampak ramai itu.

Matanya membelalak, menatap tulisan 'closed' yang tercantol apik di pintu masuk yang terbuat dari frameless. Keningnya tampak mengerut menandakan setuja pertanyaan dalam otaknya, dengan langkah gontai ia mendorong pintu itu yang tampak berat, padahal tidak.

Di ruangan dengan nuansa putih, penuh dengan bunga juga aroma semerbak wangi itu menyisakan seorang wanita berjilbab yang sedang memijat pelipisnya.

"Bu Maya," panggil Elenea. Sorot matanya memandangi sekitar, tampak kardus ukuran besar berserakan di sana. Tentu ini menimbulkan berbagai pertanyaan di benaknya.

Lantas pemilik nama yang dipanggil itu segera menegapkan badannya, mengusap wajahnya kemudian memasang senyumannya seolah-olah terlihat baik-baik saja. Elenea tahu bahasa demikian, tanda seseorang tidak baik-baik saja. Sontak tangan milik Elenea itu langsung mendekap lembut sosok wanita yang menjadi alasan untuk tetap semangat selama ini.

"Kenapa ini, sayang. Bu Maya sedang tidak sedih."

Tubuh Elenea terdorong pelan oleh kedua tangan milik Bu Maya.

"Gak! Bu Maya bohong, kan? Ini belum waktunya May'S Florist tutup? Apakah ada masalah?"

Bu Maya tetap kekeh pada pendiriannya, justru dirinya semakin mengembangkan senyumnya yang tampak sangat manis itu.

"Gak papa, cuma mau renovasi aja. Dan rencana mau pindah lapak ke luar kota?"

Elenea terpenjarat, kabar itu datang tanpa permisi, silih berganti. Bagai semilir angin yang tiba-tiba berhembus kencang, ia terombang-ambing pada kenyataan. Masalah apalagi, Tuhan? Elenea capek, batinnya sambil mengelus dada yang terasa sesak itu. Belum juga masalah satu selesai, kini masalah datang lagi. Bagaimana jika Elenea tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Perlahan waktu merenggut semuanya.

"Kenapa begitu, Bu?"

Bu Maya mengangkat bahunya, kemudian memasukkan satu-persatu peralatan untuk perakitan bucket bunga.

"Bu, ini gak ada hubungannya dengan Elenea, kan?"

Wanita dengan jilbab menjuntai hingga dada itu tidak mengindahkan pertanyaan Elenea, ia tetap fokus pada kegiatannya itu.

"Bu Maya, jawab Elenea!" lanjut Elenea dengan suara meninggi. Seperti dugaan Elenea sebelumnya, sekelebat ia mengingat peringatan yang diberikan oleh Alby.

GALEN KALENDRA (COMPLETED)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang