PERPISAHAN

132 3 0
                                    

Lelaki lengkap dengan kemeja kebesarannya berwana hitam itu tampak memijat pelipisnya, Alby merasakan sensasi otak yang mendidih hingga ke ubun-ubun. Hari itu, Alby mengingat saat Farah memintanya untuk melakukan tes DNA dengan Galen.

"Apakah Om gak merasa ini ada yang janggal? Bukan suatu kebetulan darah Om dengan Galen sama. Apalagi golongan darah AB+ itu sangat langkah."

"Sempat juga ada seorang wanita yang datang kepada kami (Farah, Yuda dan Bimo), saat masih tinggal di jalanan. Menanyakan ada yang namanya Ndra, nama Galen saat itu."

"Dan kalau Om tau itu adalah Bu Maya, founder May'S Florist. Dan saya yakin itu ada hubungannya dengan pelaku penculikan itu. Mungkin wasiat dari Fauzy Damian untuk mencari keberadaan Galen."

Alby hanya mengangguk pelan, menimang segala ucapan yang terlontar dari mulut Farah. Ia memahami semua perkataan Farah, tentang Maya juga Fauzy. Memang, bukan hal sulit untuk dirinya mengetahui siapa mereka? Siapa juga yang tidak mengenal Alby? Pemegang saham terbesar perseroan yang bergerak di bidang properti. Pendapatannya mencapai angka milyar, yang bisa membuat siapapun tunduk dengannya karena uang.

Entah, apa yang membuat Alby yakin dengan apa yang terucap oleh Farah. Tentu itu juga atas pertimbangannya yang cukup membuatnya pening. Kini, kebenaran itu telah terungkap. Galen adalah anak kandungnya. Galen adalah malaikat kecilnya yang telah lama menghilang.

Di ruang kerja, sunyi nan damai. Tiba-tiba suara decitan pintu itu terdengar jelas, perlahan akses masuk itu terbuka mendapati sosok remaja dengan wajah lesu.

Galen berjalan gontai, menenteng tas ranselnya tanpa daya. Langkah kakinya pelan, tetapi pasti. Ia menghadap papanya yang kini mengerutkan keningnya.

"Ada apa, sayang? Kamu sakit? Kan, udah papa bilang gak usah masuk sekolah dulu."

Tangan Alby meraba keningnya yang tidak panas--suhunya normal-normal saja seperti biasa, lehernya pun begitu. Tidak ada luka tambahan, lantas mengapa Galen terlihat murung seperti ini?

Dengan lembut tangan Galen menyingkirkan tangan Alby yang masih meraba bagian wajahnya itu.

"Papa berlebihan, Galen nggak papa. Memang Galen terlihat seperti apa sehingga raut wajah papa khawatir?"

"Duduk dulu." Alby memegangi bahu Galen, menuntun cowok berseragam  itu bagai anak yang bermain kereta sambil bersenandung.

Alby mendudukkan tubuh Galen di sofa empuk bagian pojok ruangan. Ia menatap lekat sosok Galen–masih dalam lamunannya.

"Ada yang kamu sampaikan?" tebak Alby seraya menautkan alisnya.

"Iya," jawab Galen seadanya.

Galen menghela nafas panjang. Membuka kancing almamaternya kemudian di sampirkan di samping sofa.

"Kenapa Papa cabut beasiswa Elenea?"

Lelaki dengan posisi duduk menyilangkan kaki itu lantas menghembuskan nafas kasar. Terasa hawa panas itu merasuk hingga rusuknya, merasakan sentuhan hangat yang menyentil sanubarinya.

"Seharusnya Papa sudah tidak perlu menjawab pertanyaan itu lagi. Kamu harus mengerti bagaimana ayahnya memperlakukan keluarga kita." Alby mulai beranjak dari duduknya. Emosinya mulai naik, jika membicarakan hal itu sangatlah membuat jiwanya terusik. Benci, kecewa, marah, sedih bercampur aduk menjadi satu.

Alasan klasik, Alby masih belum bisa melupakan kejadian itu yang bertahun-tahun telah membuatnya terombang-ambing dalam kehilangan, kehancuran, kesengsaraan yang mendalam.

Malaikat kecilnya dinyatakan hilang di taman, jejak terakhir sang pelaku yang di ketahui berada di tengah hutan tepatnya di tepi jurang. Hingga akhirnya Galen dinyatakan menghilang di dasar jurang. Satu bulan masa pencarian itu, tetapi dugaan tentang kematian Galen semakin menguat. Setelan yang digunakan Galen tercabik-cabik tak beraturan, juga sisa-sisa darah yang masih ada di sekitar semak belukar.

GALEN KALENDRA (COMPLETED)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang