Rahasiakan

52 9 24
                                    

Jika kamu ingin melihatku bahagia, maka tersenyumlah. Karena sesungguhnya, kebahagiaanku hanya dengan melihatmu tanpa luka.

~Darma~

***

"Gehna dari tadi nelpon terus, gua harus jawab apa?" tanya Darma pada Yuki yang terbaring lemah di atas bed rumah sakit.

"Sini, Kak. Biar gua aja yang ngomong," jawab Yuki meminta handphonenya.

Tanpa butuh waktu lama handphone itu kembali berdering yang menandakan Gehna kembali menelepon. Yuki menarik napas pelan untuk menyiapkan diri menjawab telpon sahabatnya.

"Halo-"

"Ya ampun Yuki! Kamu ini ke mana saja daritadi hah? Gak ke rumah, gak masuk sekolah, gak ngangkat telpon dari pagi. Tadi aku ke rumah kamu, tapi ternyata gak ada orang. Jahat banget pergi gak ngabarin," cerewet Gehna tiba-tiba membuat Yuki sedikit menjauhi handphonenya dari telinga.

"Hehe, iya, maaf," jawab Yuki cengengesan.

"Kamu ada di mana? Kenapa gak kasih kabar kalau gak sekolah hari ini?"

Yuki mulai memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat. Dia tidak mau kalau Gehna sampai tahu dia berada di rumah sakit karena sakit. Gehna pasti akan sangat khawatir jika tahu tentang kondisi Yuki saat ini.

"Emm, aku lagi ada di luar kota. Paman ada tugas ke luar kota selama 3 harian dan karena di rumah gak ada orang, jadi aku harus ikut," jawab Yuki berbohong.

"Jadi kamu gak masuk sekolah selama 3 hari ke depan?" tanya Gehna lagi.

"Iya, maaf yah. Kamu pasti kesepian deh gak ada aku di sekolah."

"Tentu saja aku kesepian. Selama sebulan ini aku sudah terbiasa main sama kamu, ke kantin bareng, ke perpus bareng. Tapi tadi, rasanya sepi banget gak ada kamu," keluhnya.

"Sabar yah. Setelah urusan paman selesai aku pasti pulang kok," kata Yuki.

"Hah, iya. Baik-baik di sana yah. Aku pasti akan merindukanmu."

"Iya, cantik."

"Hah?" Gehna sedikit terkejut mendengar panggilan baru sahabatnya.

"Hahaha, kenapa? Kaget yah?" tanya Yuki merasa lucu.

"Iya, tumben banget manggil aku cantik," jawab Gehna.

"Gehna 'kan emang cantik, pakek banget malah. Tapi ya sayang suka malu dan kurang percaya diri aja."

Mereka berdua asik telponan. Berbicara sedikit lama dan bercanda gurau sehingga Yuki sedikit melupakan sakitnya. Bibinya sangat senang melihat Yuki tertawa seperti ini. Ini kali pertama Yuki terlihat senang tanpa berpura-pura. Kebahagiaan Yuki hanya ada pada sahabatnya- Gehna. Bibinya mendekat lalu mengusap kepala keponakannya. Yuki yang asik berbincang pun menoleh ke arah bibinya, senyum tulus terlihat di sudut bibirnya.

"Sudah dulu ya, Gehna. Aku makan dulu, laper," ucap Yuki membuat alasan agar segera menutup telponnya.

"Baiklah, sampai bertemu lagi, Yuki, dada."

"Da ...."

Yuki menutup teleponnya lalu kembali menatap Bibinya yang masih tersenyum melihatnya.

"Kenapa, Bi?" tanya Yuki heran.

"Senang bisa telponan sama Gehna?" ucapnya kembali mengusap kepala Yuki.

"Sangat senang. Hehehe," jawab Yuki begitu ceria.

"Kalau boleh tahu, kenapa lu gak bilang jujur aja sama Gehna tentang penyakit lu?" ujar Darma tiba-tiba. Sesungguhnya dia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran adik sepupunya.

Yuki menggelengkan kepala pelan. "Lebih baik seperti ini," jawabnya begitu tenang.

"Sudah-sudah jangan dibahas lagi. Darma, ini sudah menjadi pilihan Yuki, kita cukup menghargainya saja," saran Ibunya. Darma hanya mengangguk pasrah.

"Ya sudah, Ibu keluar dulu yah. Sebentar lagi Ayahmu pulang, Ibu belum belikan dia makan."

"Iya, Bu."

Bayangan Ibu Darma perlahan menghilang. Di ruangan itu saat ini hanya ada Darma dan Yuki. Kakaknya menatap Yuki dengan sangat dalam, membuat adiknya terlihat kikuk karena canggung.

"Kenapa sih natap gua gitu amet," terang Yuki yang sudah merasa tak nyaman.

Darma tak menjawab. Dia mendekatkan tubuhnya dan duduk di pinggir tempat tidur Yuki. Perlahan ia meraih tangan adiknya, mengusapnya dengan lembut lalu menciumnya sekilas.

"Kak?"

Mereka berdua saling tatap membuat Yuki semakin canggung dengan perlakuan Darma. Setelah menatap adik sepupunya dengan puas sembari berperang dengan isi kepalanya, ia mulai memeluk Yuki. Pelukan yang hangat dan dalam. Kali ini berbeda, Darma merasa takut kehilangan Yuki. Dia sangat khawatir dengan keadaan Yuki yang semakin hari semakin menurun.

"Lu kenapa sih?" tanya Yuki kebingungan.

"Jangan bikin gua khawatir, Yuk," ucapnya dengan nada bergetar. Sepertinya saat ini dia sedang menahan tangis.

"Gua juga gak punya niatan bikin lu khawatir. Tapi mau gimana lagi? Kondisi gua emang udah jelek begini. Bentar lagi juga bakalan mati!" jawab Yuki begitu entengnya.

"Ah, apaan sih lu ngomong gitu. Gua gak suka. Awas aja lu kalau ngomong yang nggak-nggak lagi!" ancam Darma.

"Hahaha, tapi bener 'kan kalau umur gua udah gak lama lagi?" ulangnya.

"Yuki! Enggak! Gak boleh mati. Yuki harus tetap hidup bareng gua," pintanya. Darma semakin mengeratkan pelukannya. Ia benar-benar tidak siap jika harus kehilangan orang yang paling dia sayang.

Yuki merasa punggungnya mulai basah. Dia paham, Kakaknya pasti menangis lagi. "Gua udah bilang 'kan kalau lu gak boleh cengeng," tegasnya.

"Maaf. Gua lemah kalau sudah menyangkut lu, Yuk. Gua sayang banget sama lu. Tolong bertahanlah demi gua, demi Gehna, demi orang-orang yang sayang sama lu," pinta Darma sangat bersungguh-sungguh.

"Gua juga udah bilang 'kan kak, lu gak boleh sayang sama gua lebih dari seorang adik. Lihat ini! Lu terang-terangan lagi memperlihat perasaan lu ke gua."

"Kenapa? Itu hak gua mau suka sama siapa," jawab Darma tak mempedulikan keinginan Yuki.

"Gua udah mau mati! Jadi jangan suka sama gua," tolaknya.

"Gak peduli. Gua bakal ngelakuin apapun biar lu bisa tetep hidup. Gua sayang banget sama lu, Yuki. Gua cinta sama lu."

Yuki tak bisa membantah lagi. Ia hanya menutup kedua netranya sembari menahan sesak di dalam dada. Jika boleh memilih, Yuki ingin membalas perasaan Darma. Namun, dia sadar kondisinya yang tidak memungkinkan. Belum lagi, hubungan mereka berdua adalah sepupu. Mana mungkin Yuki mau berhubungan dengan Kakak sepupunya sendiri?

"Yuki, gua harap lu gak benci gua karena sangat berani dengan perasaan ini," harap Darma.

"Buat apa gua benci, Kak? Gua gak akan benci sama Kakak," jawab Yuki masih mencoba tenang.

"Lu mau bertahan buat gua 'kan? Setelah lulus nanti, gua mau bilang ke Ayah dan Ibu buat nikahin lu," tuturnya lagi membuat Yuki terkejut.

"Apa?" Yuki melepaskan pelukan Darma. Sepertinya kali ini Kakaknya benar-benar serius.

"Gua bilang, gua mau minta izin ke Ayah dan Ibu biar bisa nikahin lu," ulangnya.

"Lawak banget sih, Kak," kata Yuki menoel pelan kepala Darma.

"Lah, gua serius goblok. Gua mau nikah sama lu. Mau 'kan?"

Jujur, setiap kata yang Darma katakan baru saja membuatnya melayang. Dalam hati ia kegirangan, di luar ia tetap tenang.

"Jangan bengong aja dong. Jawab, lu mau 'kan nikah sama gua?"

"Gak tahu kak, gak usah bahas ini dulu. Gua mau fokus ujian dulu," jawab Yuki beralasan.

Diam & Air Mata Gehna [Novelet]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang