Di sepanjang perjalanan, Dirga dan aku tak melakukan begitu banyak percakapan, pun didukung oleh kami berdua yang memang tidak berusaha mencairkan suasana. Bagiku, dia yang tak secara tiba-tiba menusuk punggungku dan membiarkanku mati terluka di tengah salju ini sudah cukup, karena aku tahu dia menyakukan pisau tajam pada salah satu bagian sabuknya.
Aku menduga kalau sebelum dunia berubah seperti ini, Dirga adalah orang yang mengenal dekat kata kekerasan, atau apapun itu yang berkaitan dengan hal itu. Mungkin bukan pada sisi yang jahat, melainkan sisi sebaliknya. Polisi, tentara, mungkin juga pemadam kebakaran, yang kurasa bisa menjadi calon profesi pilihan dalam dugaanku, walaupun aku tetap ragu karena dia tak membawa satu pun senjata api. Namun, sekali lagi, aku tak akan menanyakan hal itu.
Aku mengambil jalan pintas, walaupun sempat sedikit kebingungan karena lanskap yang berbeda dari yang biasa kukenal. Tak melalui jalan raya—yang sekarang tak terlihat karena tertutup salju, melainkan jalanan kecil yang menghubungkan satu perumahan dengan perumahan yang lain.
Aku tahu pilihanku tepat karena dinding pembatas antar perumahan dapat kutemukan.
Di sekitar sini ada dinding besar berlubang yang sengaja orang-orang buat sebagai akses instan antar dua perumahan. Sekarang, ukuran lubang itu berkurang hampir separuh dengan adanya salju di permukaan. Kalau Dirga benar-benar penduduk di sekitar sini, seharusnya ia tahu akan keberadaan lubang yang menganga itu. Namun, aku tak ambil pusing apakah dia mengetahuinya atau tidak, yang sekarang kuinginkan adalah kembali menemui Galih dan Aziz, memastikan bahwa mereka baik-baik saja, terutama adikku itu.
Oh, ya. Tidak jauh sebelum kami pergi, Hana juga memberikan kami jatah makanan yang dapat digunakan selama perjalanan. Dia tak ingin mengambil resiko, dan aku jelas tak akan menolaknya lagi. Badai yang tiba-tiba datang itu cukup untuk membukakan mataku: aku harus mempersiapkan semuanya sebelum hal buruk terjadi.
Perjalanan tidak memakan waktu begitu lama kalau dibandingkan dengan eksplorasi pertamaku. Ketika rumahku sudah terlihat di ujung sana, aku memberitahu Dirga bahwa kita hampir sampai, membuat tingkat kewaspadaannya semakin meninggi, hingga kami sampai ke depan jendela masuk yang biasa kujadikan akses keluar masuk alternatif rumah karena pintu depan yang tak dapat kubuka.
Setidaknya pernah kujadikan akses keluar masuk.
Jendela itu tidak benar-benar terkubur oleh salju, tetapi sebagian besar lubang yang sengaja kami pecahkan tertutup oleh timbunan salju.
Aku menggali, dan astaga demi apapun juga, bisa kulihat sekumpulan es putih melandai masuk ke dalam rumahku. Tidak banyak, tetapi cukup mengambil banyak tempat di ruangan pertama yang salju itu kunjungi.
Begitu kurasa galianku cukup, sengaja kuluncurkan tubuhku untuk masuk ke dalam, hampir tergelincir karena salju di dalam ruangan tidak membeku sempurna.
Pasti karena badai panjang kemarin.
Namun, sebelum benar-benar mencari tahu, aku mencoba memastikan bahwa Dirga bisa masuk dengan tubuh besarnya.
Aku rasa ia kesusahan, entah karena tidak terbiasa atau mungkin karena terus berjaga-jaga menghindari ancaman yang tak akan pernah terjadi. Setelah memastikan bahwa dia sudah masuk ke dalam rumahku, aku menanyakan kabarnya, apa dia baik-baik saja, dan secara lugas ia katakan bahwa ia baik-baik saja.
Pikiranku kembali melintang pada Aziz dan Galih. Mereka tidak sedang bermain bersama, tidak menyambutku, tidak ada sedikitpun tanggapan biar sebenarnya aku tahu, seharusnya seluncuran yang kuakhiri dengan pijakan keras itu menggema ke seluruh ruangan itu bisa mereka dengarkan.
Tidak ada apapun.
Aku mulai panik, memanggil mereka berulang kali. Berteriak, menggaungkan kedua nama mereka tanpa jeda. Tentu, sembari berjalan, bergerak mencari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]
Научная фантастикаDunia dilanda musim salju tanpa henti. Firman dan adiknya, Galih, berusaha bertahan hidup dari dunia yang dingin dan manusia-manusia lainnya yang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.