4. Kematian kepala desa Bunglon

17 5 0
                                    

Bau busuk dan amis yang perlahan menguap seolah mengaduk-aduk perut warga, menyerang mereka dengan sensasi mual dan pening dalam waktu bersamaan. Tempat kejadian mulai dipadati para warga, berbagai reaksi mereka tampilkan dan cenderung keterkejutan, histeris serta tangis yang terdengar. Tak menampik jika ada yang melangkah mundur dengan raut kengeriannya sebab disergap rasa cemas tanpa alasan. Selain pasokan udara di kamar yang semakin menyempit, atomsfer ketegangan dan panik membungkus pagi mereka dengan rapat.

Sarung yang paling berani diantara mereka maju satu langkah mendekati area kasur, "Pak de Kusno, kenapa bisa begini?" ujarnya lirih, matanya mendadak buram oleh air mata saat menerima tepukan dipundaknya dari Karip yang berdiri di belakangnya.

Karip menoleh ke arah pak de Teo dengan raut meratapnya, "Kita harus menelepon polisi. I...ini adalah oembunuhan," ujar Karip susah payah.

Pak de Teo yang sedari tadi menunduk segera mendongak dan mata mereka bertemu untuk sesaat sebelum pak de Teo membuang wajah ke samping.

"Saya akan keluar untuk menelepon kantor polisi terdekat," ujarnya dengan nada pelan kemudian berjalan keluar kamar.

Karip menatap punggung yang membungkuk itu menyusuri lorong sempit hingga hilang di belokan. Karip melihatnya. Pak de Teo menangis.

Ujang ikut berjongkok di samping Sarung yang masih meracaukan keadaan pak de Kusno—seolah tak percaya dengan penglihatannya sekarang, pria itu terus berucap 'Kenapa bisa begini ? Apa penyebabnya?' sambil terisak keras di sisi kasur.

"Kita harus melakukan sesuatu, bisa saja pak de Kusno masih bisa di selamatkan," Karip menyuarakan pendapat di tengah keheningan kemudian menangguk yakin setelah mengeluarkan nada tegasnya.

Dengan gerakan cekatan dan cepat yang tidak bisa diprediksi oleh semua orang, tangannya meraih ujung pisau yang masih tertancap tepat di atas kaos pak de Kusno. Semua orang membulatkan matanya, terlebih lagi melihat apa yang diperbuat Karip sangat diluar kendali semua orang. Seruan kekagetan dan histeris bermunculan, beberapa pekikan perintah ditujukan kepada Karip untuk menghentikan perbuatan gilanya tapi berakhir pria itu hiraukan.

"Sarung, ayo bantu aku," teriak Karip yang cenderung menyentak membuat Sarung gelagapan di tempat. Pikirannya mendadak kosong, disapu bersih kesedihan membuatnya berbuat tanpa pikir panjang. Secepat kedipan mata, kini mereka berdua sama-sama memegang ujung pisau itu dan menariknya keluar yang sebelumnya tertancap dalam perut pak de Kusno.

Ujang mendekati Karip dan Sarung, "Jangan berbuat hal yang bodoh, kalian akan merusak barang bukti!" Ujang meraih pundak Sarung dan Karip secara bersamaan dan menariknya ke belakang dengan sekali hentakan.

Sarung melorot ke lantai dan terisak seperti kehabisan napas, ia menatap tangannya untuk sesaat. Penyesalan menyerbunya tanpa ampun. Apa yang sudah ia perbuat?

"Periksa nadinya jang," ujar Ujang namun Karip tampak membeku di tempat. Pisau masih berada dalam genggamannya sebelum ia hempaskan secara spontan membuat suara pontang-panting benda tajam bergema di kamar itu. Seluruh warga mundur secara refleks, darah yang masih tertinggal di pisau menyiprat ke pakaian Karip, wajah Sarung dan berakhir pada bibir pak Tohib, menyerang pria itu dengan sensasi bau busuk yang mengobrak-abrik kerongkongannya. Bahkan Gabus—salah satu warga hampir terkena sisi ujung pisau jika tidak dengan sigap menepis, pisau itu berakhir jatuh di lantai semen pojok kamar.

Ujabg mengerang rendah, mendorong Karip dengan sekuat tenaga kemudian ambil aksi. Ia segera menempelkan dua jarinya pada sisi leher pak de Kusno.

"Apa yang kalian lakukan!" sebuah teriakan lantang dari arah belakang serentak membuat para warga menoleh. Rahayu—istri pak de Kusno berteriak, raut murkanya dan tatapannya yang amat tajam walau sedang menangis, membuat para warga mematung seakan disihir.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang