6. Memori kelam masa lalu

11 5 0
                                    

Malam itu, hujan turun dengan amat deras. Suara guntur menyambar nyaring, mempertahankan kesadaran mata walau waktu sudah kian larut. Titik-titik air hujan tersapu embusan angin, menghujam atap rumah bak ribuan anak panah. Seolah mereka, bekerja sama untuk menutupi suara bantingan benda-benda yang menguap dan saling menimpa.

Pak de kusno meraih sejumput surai istrinya dan menariknya kuat-kuat, seperti kulit kepalanya akan rontok saat itu juga, bu Rahayu meraung keras—memohon untuk dilepaskan tapi berakhir tak dihiraukan oleh suaminya.

Berawal dari perdebatan mulut yang kian hari kian memanas, tapi bu Rahayu sama sekali tidak menyangka bahwa suaminya akan menggunakan kekerasan fisik. Ini pertama kali dalam perikahan mereka.

Bu rahyu menjerit keras saat tubuhnya didorong kuat dan berakhir menabrakkan dirinya pada lemari kaca membuat barang-barang didalamnya bergoyang dan nyaris jatuh. Wajahnya menampar pintu lemari kaca, ringisannya kembali keluar.

"Tarik ucapanmu yang tadi!" suara tegas pak de Kusno menyentak lantam pendengaran bu Rahayu.

Diambang kesakitan yang menyiksa fisik dan batinnya, bu Rahayu dengan sekuat tenaga menggelengkan kepala. Air matanya luruh ke bawah, sesaat pipinya terasa pedih sebab bergesekkan dengan permukaan kasar kayu. Dari pantulan lemari kaca, ia dapat melihat wajah suaminya yang tampak berubah menjadi sosok iblis yang kejam dan tak punya belas kasihan. Tidak ada senyuman hangat seperti dulu, yang ia saksikan kini hanyalah napsu bejatnya untuk memaksa orang agar sejalan dengan jalan pikiran pria itu.

"Tidak! Kau memang serakah! Kau manusia sera..."

"Argh!"

Teriakan bu Rahayu terpotong berganti pekikan tertahannya. Murkanya mencapai puncak, pak de Kusno menghempaskan tangannya membuat bu Rahayu terbanting ke atas lantai semen. Berusaha melindungi kepalanya dari benturan, bu Rahayu mengorbankan siku lengannya yang pasti akan berakhir memar. Di tengah napas terengah-engahnya, bu Rahayu mendongakkan kepala menatap wajah murka pak de Kusno dari bawah.

Pak de Kuso tak merasa bersalah sama sekali, ia kembali melayangkan kalimat tajamnya, "Sudah berapa kali kubilang, jangan membahas hal itu lagi!"

Bu Rahayu menggesekkan kakinya agar dapat bergerak maju, begitu mendekat ia segera meraih kedua kaki pak de Kusno.

"Aku mohon berhenti. Mereka tidak bersalah," bu Rahayu memohon sembari bersimpuh, suaranya terlontar lemah, sayup-sayup nyaris tak terdengar. Berusaha menghentikan tangisannya, membuat dadanya sesak untuk sesaat.

Pak de Kusno menyentak kasar kakinya membuat lilitan lengan itu terlepas, ia sudah hendak berjalan keluar sebelum berbalik untuk terakhir kalinya, "Aku tidak akan berhenti melakukannya, jadi bukan aku, tapi kau yang harus berhenti melarangku."

Pintu dijeblak kuat, walau ditutupi oleh suara kilat dari luar, bantingan pintu itu masih terdengar jelas baginya. Bu Rahayu meremas roknya kuat-kuat. Melampiaskan kekecewaan akan situasi, tanpa bisa menyalahkan siapapun selain dirinya.

Hingga saat ia membalikkan kepala ke belakang, fokusnya tak sengaja bertabrakan dengan sepasang rena yang bersembunyi di balik celah pintu. Tatapan mereka beradu sepersekian detik sebelum terputus karena bu Rahayu dengan sigap berdiri.

Tanpa sadar bu Rahayu menjilat bibirnya, sensasi darah segar menyapa lidahnya diakhiri refleks ringisannya. Pada mulanya langkahnya terasa berat, barangkali terlalu lemah sebab terjatuh tadi, akan tetapi memikirkan pintu yang kini sudah tertutup rapat tanpa celah itu memacu langkahnya kian cepat.

Bu Rahayu mengetuk tiga kali pintu kamar itu.

"Iya bu?" sahutan Abi terdengar dari dalam kamar membuat jantungnya disergap kecemasan.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang