7. Perubahan tonggak pemikiran

9 4 0
                                    

Suara bambu yang berdenyit pelan membuyarkan lamunan Bayu. Ia menoleh ke kanan dan menemukan Cahyadi duduk di sampingnya sambil menaruh fokus pada pemandangan desa di depan.

"Emosi? Katanya berbakat tapi seperti ini saja sudah menyerah," ujarnya yang langsung memutuskan tatapan Bayu padanya.

Bayu terdiam, tak menyahuti perkataan Cahyadi. Pria itu lebih memilih menengadahkan kepalanya ke atas,  mengamati gumpalan kapas putih yang berbeda-beda bentuk itu. 

Giliran Cahyadi yang melirik ke arah Bayu, "Aku tahu mereka sedikit menyebalkan," ujarnya membuat Bayu mengerjap beberapa kali, "Tapi kau lebih menyebalkan," sambung Cahyadi yang langsung merontokkan kepercayaan diri Bayu.

Raut Cahyadi kini berubah serius, "Kau tahu kan, tidak seharusnya kau berjerit kepada seorang saksi seperti itu?"

Bayu menarik napas pendek, ia sadar akan kesalahannya. Saat ini ia tengah berpikir keras untuk sebuah keputusan yang mungkin akan menjadi langkah awal dalam perubahan hidupnya. Ambil atau tidak. Hanya ada dua pilihan. Dan Bayu akan memilih untuk mengambilnya, ia tidak akan melewatkan langkah awalnya hanya karena emosi yang tak bisa ia bendung.

"Aku akan mengambil kasus ini."

Awalnya Cahyadi pikir Bayu tetap akan mengacuhkannya, tapi di luar dugaan pria itu memberikan jawaban yang berakhir pada kerutan di dahinya.  

Cahyadi tak salah dengar. Ia menoleh ke Bayu sambil menaikkan alis kanannya, "Bukannya tadi kau menolak? Aku sudah bilang ingin mengambil kasus ini. Kau memang suka memcari masalah dengan orang..."

Cahyadi dengan serentetan kalimat kekesalannya tak Bayu tanggapi lagi. Ia lebih memilih untuk tidak membuang waktu, mengeluarkan pisau yang terbungkus dalam plastik itu kemudian mengamatinya lekat-lekat sembari berjalan menjauh dari area pondok.

Cahyadi yang tertinggal di belakang membulatkan matanya, "Tunggu aku, kalau begitu kita harus mengerjakannya bersama-sama."

---

Esok harinya, para warga desa Bunglon memutuskan untuk berkumpul, melainkan di pondok yang terbuka dan penuh dengan angin sepoi, mereka memilih rumah kecil pak de Teo yang pengap dan ruangnya terbatas. Tapi rasa tidak nyaman itu mereka tepis demi mencapai suatu kesepakatan dimana dirasa aman bagi mereka. 

"Sudah lewat tiga hari, mereka berdua tinggal dimana?" tanya Karip sebagai awal diskusi mereka hari ini.

"Di rumah mbak Poppy, kira-kira jarak dua puluh langkah dari sumur," jawab Ujang sambil mengelus kumis tebalnya.

Walau kosong penghuni, rumah itu tetap dibersihkan oleh warga setiap harinya.

Pak de Teo kemudian datang dengan teko air dan beberapa gelas sebagai jamuan dari tuan rumah. Walau sederhana, semuanya tampak tak masalah. Mereka bergantian menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Alamak, semalam aku tak bisa tidur karena kepikiran teriakan bu Rahayu," Karip meletakkan gelasnya yang tidak jadi ia minum. Pikirannya menerawang kembali pada mimpi buruk yang ia dapat kemarin. Tapi tampaknya ia tidak sendiri, dilihat dari ekspresi warga lain yang membulatkan mata bahkan pak Tohib terbatuk keras.

"Benar, sejujurnya terlihat mengerikan. Aku juga tidak bisa tidur kemarin," Ujang tiba-tiba mengekspos diri, diikuti sorakan warga lainnya. Kira-kira belasan orang di dalam ruangan itu saling bersahutan dan mulai menceritakan ulang detail kejadian kemarin.

"Pelankan suara kalian," peringat pak de Teo di tengah situasi yang mulai ricuh.

"Jika kalian tetap berbicara dengan nada seperti ini, warga lain akan ikut terbangun," sambungnya sembari melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang