17. Kenangan dan Harapan

39 6 0
                                    

"Wis, Ko. Enggak usah diintip terus."

Ming menjauhi jendela kamarnya dan mendekati Santi yang sedang duduk bersandar di tempat tidur. Ia merebahkan badannya di samping Santi, menyandarkan kepala ke bahu istrinya.

"Tata udah gede, Ko. Koko juga bilang John bisa diandalkan, tho? Jangan terlalu khawatir."

Mata Ming, yang seperti tertuju pada layar televisi, mengerjap. "Kalo sama John, aku enggak bingung, San. Aku justru enggak bisa nebak isi kepalanya Tata."

Mereka berdua terdiam. Percakapan dari film yang diputar di layar televisi memenuhi ruangan.

"Menurutmu, apa aku bisa jadi papa yang baik?"

Ming tak mendengar Santi menjawab pertanyaannya. Tetapi, jari-jari mungil istrinya itu mengusap perlahan helai rambut yang berjatuhan dan sedikit menutupi dahi Ming.

"Kamu mau jawaban jujur atau jawaban menghibur?"

Tawa kecil lolos dari bibir Ming. Ia bergerak perlahan, menegakkan kepala menjauh dari bahu Santi. Ia mendongak dan menatap istrinya.

Santi membalas dengan senyum tulus. Lalu tangannya membelai rambut halus yang berbaris rapi di dagu Ming. "Your heart knows. Kamu hanya perlu percaya, Ko."

Ming membalikkan badan, menelungkup dan bertumpu pada salah satu sikunya. Sementara itu, tangan kirinya mengusap perut Santi yang makin membesar. Dia memandanginya lekat, seakan matanya dapat menembus perut Santi dan menatap calon anaknya.

Ia kemudian menatap Santi, perempuan pilihannya, istrinya.

Pandangan mereka bersirobok. Tanpa kata, saling memahami, saling menikmati.

--

Suara mesin mobil dimatikan membangunkan Ming dari lamunannya. Santi sudah terlelap di sebelahnya. Lampu kamar mereka sudah diredupkan. Tetap saja Ming tak ragu untuk menyibak selimut, bangkit dari tidur, dan berjalan mendekat ke jendela kamar.

Ia mengintip dari balik gorden yang dibukanya perlahan. Tak ada tanda-tanda pintu mobil dibuka. Dari tempatnya berdiri, ia tak bisa melihat jelas apa yang terjadi di dalam kendaraan itu.

Jalanan depan rumahnya sudah sepi, tak ada kendaraan yang lalu-lalang. Mobil abu-abu gelap itu masih bertahan di sana.

Ming menghirup udara dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia memutuskan melangkah menjauh dari jendela, tetapi selang beberapa langkah ia menoleh kembali walau tahu khawatirnya tak akan terpuaskan.

Ia kembali berbaring. Menatap ke langit-langit kamar, mencoba menata kembali hal-hal yang memenuhi pikirannya beberapa waktu belakangan.

Senyum sebal terulas di wajahnya, mengingat adiknya yang minta digendong. Tangannya menggosok pinggang yang terasa sedikit pegal karena memanggul beban 50 kilogram. Entah kapan terakhir kali ia menggendong Martha.

Rasanya baru kemarin, Ming dan Martha pergi bermain ke kampung belakang ruko. Ming yang asyik bermain bola harus keluar dari permainan karena mendengar suara tangis adiknya. Martha gagal melewati rintangan lompat tali dan terjatuh. Di lulutnya ada luka menganga yang membuatnya sulit berdiri. Mengetahui Martha tak mungkin berjalan pulang, Ming menggendong adiknya, membiarkan punggungnya basah dengan air mata.

Bukannya mendapat pujian dan tepukan di pundak sebagai kakak teladan, ketika Ah Lung melihat mereka, malah rotan yang menyapa paha mereka berdua. Bahkan, Ming mendapat porsi berlipat ganda, karena dianggap tak mampu menjaga adiknya.

"Main terus! Enggak sadar Tata ikutin kamu. Masih untung cuma berdarah, kalau hilang dibawa orang, gimana? Sebagai koko, kamu harus jaga dia. Tata cuma punya kamu, yang bisa lindungi dia."

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang