Janette terkikik, dia tidak ingat pernah semabuk ini dalam hidupnya. Mungkin perayaan ini terlalu berlebihan. Mungkin dia seharusnya menghentikan Tamlin menyulap anggur yang terus muncul di gelasnya. Namun dia mendapati dirinya meneguk lebih banyak anggur. Merasakan manis dan asam di lidahnya, di bibirnya, dia bahkan tidak terlalu peduli lagi dengan kabut yang sekarang memenuhi kepalanya. Janette tidak ingat kapan terakhir kali dia benar-benar merasakan kebebasan seperti itu. Untuk melupakan dunia dan semua masalah di dalamnya.
"Apakah aku sudah memberi tahumu?" ucap Janette diikuti lebih banyak tawa cekikikan dan cegukan.
"Hmm? Apa cantikku?" ucap Tamlin dengan suara serak rendah yang membuat perut Janette menegang dengan cara yang paling baik. Kulitnya terasa gatal untuk sentuhan, untuk kontak yang dia tahu akan menghanguskan mereka bersama.
"Bahwa kamu sangat cantik, seperti benar-benar cantik. Ingatkan aku kenapa aku tidak bisa tinggal?" ucap Janette suaranya semakin terdengar tidak jelas. Dia tidak dapat mengingat berapa gelas yang telah dia minum. Dia kehilangan hitungan setelah gelas ke tiganya. Itu tepat setelah mereka menari.
Tamlin telah menyihir ruang depan, tempat perapian menyala menjadi ruang dansa yang dipenuhi ratusan lilin. Menyihir bunga yang mustahil tumbuh di musim dingin seperti ini. Dan musik ajaib yang menghantui. Makan malam mereka menyenangkan dan Janette tidak bisa menghilangkan ingatan tentang ciuman yang terjadi setelah dansa pertama mereka. Cara bibir Tamlin terasa di bibirnya dan bagaimana jari-jarinya terjerat di rambutnya. Janette mencintai perasaan tubuh Tamlin yang menekan tubuhnya seolah mereka dibuat untuk bersama. Seolah mereka bukan dua tubuh yang berbeda tapi satu dan tidak mungkin untuk memisahkan mereka.
Saat itu semua kekhawatiran Janette tentang kutukan dan sihir menguap. Menyisakan perasaan hangat yang membakar di dasar perutnya seperti nyala api. Itu dikombinasikan dengan anggur membuat Janette merasa berani dan sembrono. Itu membuatnya berpikir untuk bangkit dari tempatnya duduk sekarang dan duduk di pangkuan Tamlin. Untuk mengambil mulutnya sekali lagi dan mengulang bagaimana rasanya saat lidah mereka terasa bersama.
"Kamu mabuk," ucap Tamlin dan Janette mengangguk setuju. Yakin dia lebih mabuk dari pada saat mereka merayakan pesta pernikahan Hellen. "Aku seharusnya tidak memberimu begitu banyak anggur."
"Sudah terlambat untuk itu," ucap Janette dengan suara cedal, dia berdiri dan bumi sepertinya miring pada porosnya. Dia memihat langit-langit berputar. Lilin menjadi kabur dan berbayang. Sebelum dia menyadari dirinya mulai tergelincir, namun sebelum dia menghantam lantai Tamlin menahan lengannya. Menariknya ke dalam pelukan. Kedua lengannya melingkari pinggangnya dengan aman.
Janette menyandarkan kepalanya ke dada Tamlin. Memejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam, mencintai aroma pria yang sekarang menahannya. Telinganya menekan tepat ke jantungnya yang saat ini berdetak begitu keras. Janette meletakkan telapak tangannya di dada pria itu menikmati bagaimana otot keras melentur di bawah sentuhannya. Bagaimana kehangatan merembes melalui kain kemeja tipis yang memisahkan kulitnya dari sentuhannya.
"Kamu harus berbaring, dan aku akan mengambilkan kamu segelas air. Kamu mungkin akan membenciku saat sakit kepala menghantam kepalamu besok," ucap Tamlin di dekat telinganya.
"Atau kamu bisa bergabung denganku dan mencari tahu apa yang aku kenakan di bawah lapisan gaun ini," ucap Janette berusaha terdengar menggoda, tapi cegukan di akhir kalimatnya hanya membuat Tamlin terkekeh.
"Dan kemudian kamu akan membenciku," uacap Tamlin. Dia mengangkat Janette ke dalam pelukannya, membawanya ke salah satu kamar. Kedua lengan Janette melingkari leher Tamlin dan saat dia membaringkan Janette ke atas kasur gadis itu kembali membuka matanya dan merengek.
"Tetap, aku ingin kamu tinggal," ucap Janette, dan dia sedikit bergeser sehingga menciptakan ruang yang cukup untuk Tamlin berbaring di kasur.
"Biarkan aku mengambilkan kamu air terlebih dahulu," ucap Tamlin tapi lagi-lagi Janette menggelengkan kepalanya. Gadis itu menarik lengan Tamlin sehingga dia berbaring di ruang di sisinya.
"Aku pikir aku jatuh cinta," ucap Janette tapi Tamlin tidak mengatakan apa-apa. Jadi Janette meraih lengan pria itu dan meletakkannya di atas perutnya sehingga mereka saling memeluk. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti dan Janette menikmati udara yang mereka bagi bersama. "Sebentar saja. Biarkan aku berpura-pura kita memiliki masa depan. Hanya sebentar."
Akhirnya Tamlin mengangguk dan menarik gadis itu lebih erat ke tubuhnya. "Hanya sebentar."
***
Orang bilang takdir bisa diubah jika kita berusaha cukup keras, tapi Tamlin tidak berpikir itu benar. Terutama tidak saat kenyataan hidupnya menghantam dengan begitu keras. Dia seharusnya tidak begitu sembrono. Tidak mempertaruhkan gadis yang dia yakini telah menggenggam hatinya.
Hal pertama yang dia sadari saat membuka mata adalah napas hangat seseorang yang menerpa pipinya. Itu adalah alarm pertama yang seharusnya membunyikan lonceng dengan kuat. Ke dua dia menyadari cahaya yang mulai mengubah langit berubah menjadi warna abu-abu fajar. Dan terakhir saat dia mengangkat tangannya dan melihat cakar setajam silet alih-alih jari yang berada di sana.
Semua peringatan itu seharusnya membuatnya berlari, namun Tamlin ingin mencuri lebih banyak waktu. Sebentar saja. Hanya beberapa menit lebih lama, hanya itu yang dia inginkan. Jadi dia tinggal, melihat wanita yang dia cintai tertidur dengan napas yang stabil sampai kemudian wanita itu tersenyum. Bibir merah muda yang dia tahu selembut kelopak bunga mawar itu melengkung bak bulan sabit yang indah sebelum sepasang mata cantiknya terbuka.
Itu mungkin terkejut. Itu mungkin rasa takut. Bagaimanapun Tamlin tidak akan pernah tahu. Pada awalnya gadis itu masih memeluknya dari malam sebelumnya. Memegangnya begitu erat dengan lengannya yang rampung. Satu detik dia bernapas dan detik berikutnya saat gadis itu melepaskan pelukannya. Napas berhenti masuk dan keluar dari paru-parunya. Jantung yang sebelumnya berdetak ritmis tak-dum-tak-dum menjadi sunyi.
Itu terlalu cepat. Itu tidak mungkin benar. Namun Tamlin tidak dapat membodohi dirinya sendiri. Dia telah melihat mata terbelalak sebelum ajal menemui setiap gadis saat melihatnya dalam wujud ini. Semuanya tidak pernah berhasil bertahan untuk memeluknya. Tetapi melihat mata Janette yang sekarang kosong membuat Tamlin menyadari satu hal, bahwa dia tidak pernah mencintai gadis-gadis sebelum Janette. Atau setidaknya tidak pernah mencintai cukup banyak. Karena saat dia memeluk Janette sekarang dia rela melakukan apa pun. Dia akan keluar berkali-kali dari Chateau dan menerima rasa sakit itu ratusan kali jika itu berarti Janette bisa memiliki kesempatan kedua. Dia akan melakukan apa pun. Bahkan menjual jiwanya. Mengorbankan potongan tidak berharga itu untuk gadis ini. Jadi dia memanggil Ratu Peri yang menjanjikannya kematian sebagai perpuluhan di malam Samhain. Tamlin menawar. Untuk gadisnya. Untuk Janette yang cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spellbreaker
Short StoryFantasy || Romance || Young Adult Pada suatu ketika, di saat peri itu nyata dan gadis-gadis menghilang di kedalaman Carterhaugh, di mana kisah ini akhirnya dimulai. Janette dan ayahnya tinggal di desa dekat dengan Carterhaugh. Warga desa percaya p...