iv.ii. 2016, dan tahun-tahun sesudahnya

56 5 1
                                    

Ya mau bagaimana lagi. Ketika seorang manusia telah mantap akan pilihannya, satu-satunya risiko yang harus ia tanggung adalah berjalan melewati apa pun ganjarannya. Entah itu untuk menang, entah itu untuk mengenang, entah itu untuk pulang. Ya, semua itu adalah perihal sepasang manusia yang telah mantap akan pilihannya.

Ia tidak tahu. Ia hanya tidak tahu. Rasa-rasanya 2016 adalah tahun yang hadir untuk menjadi pengobat sesaknya selama ia menulis kenanganan-kenangan di tahun sebelumnya. Padahal masih belum lama berjalan. Akan tetapi, hari ini, di ruang rapat ini, perusahaan milik Damara memenangkan tender perusahaan yang berencana akan membuat sebuah gedung apartemen di Bandung.

Yang kebetulan, Pak Darmawan, Pak Asep, Damara, beserta drafter lainnya ditunjuk oleh Pak Adi untuk memegang proyek yang menurut laki-laki itu adalah sebuah proyek yang sangat besar.

"Tapi, proyek kali ini tidak akan kalian kerjakan sendiri," ucap Pak Adi.

"Maksudnya, Pak?" tanya Pak Darmawan selaku kepala tim.

"Karena ini adalah proyek yang Bapak dan teman Bapak rencanakan, maka kalian akan ditemani oleh tim lain dari teman Bapak."

"Kalau boleh tahu, Pak, kira-kira dengan perusahaan mana, ya, Bapak melakukan kerja sama?"

"Dengan perusahaannya Pak Sugiri, PT. ArchTech."

Lalu, ketika rekan satu timnya mengangguk-anggukkan kepalanya, tidak dengan satu laki-laki yang sedari tadi tidak berbicara sedikit pun. Di kepalanya sedang ada resah-resah yang teramat banyak berhasil menertawai harga dirinya.

Duh, kelakuan semesta memang aneh-aneh saja.

***

Laki-laki itu mendengar kabar, Jika Naya sudah diwisuda dan resmi menjadi seorang sarjana bahasa. Di sela-sela pekerjaannya, laki-laki selalu memeriksa jejak digital yang Naya tinggalkan pada salah satu laman cerita. Perempuan itu banyak sekali membagikan foto dan mengunggah ulang ucapan-ucapan selamat dari teman-temannya di sana. Damara tersenyum, Naya nampak menjadi lebih hebat di matanya.

Sampai-sampai di belakang kursinya berdiri seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi memperhatikan gelatnya, Damara baru menyadari ketika ia mendengar sebuah suara yang berdeham di belakangnya. Sontak, laki-laki itu memalingkan wajah dari ponselnya, memutar kursi yang didudukinya, dan menatap seseorang yang sedang berdiri di depannya. Betapa terkejut saat ia menyaksikan jika Sugiri sedang menatapnya.

Sial, setelah jalan satu bulan proyeknya, kenapa baru hari ini ia melihat orang yang paling dicintai perempuannya? Kemudian ia bergegas memberi salam.

"Eh, Bapak. Damara kira tidak ada siapa-siapa di sini," ucapnya sedikit gelagapan.

"Apa kabar, Dam? Setelah sekian lama, akhirnya kita diikat lagi sama sebuah kewajiban, ya?"

Sedang laki-laki itu, hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "I-iya, Pak."

"Sepertinya kamu punya cukup waktu luang untuk bermain ponsel saat bekerja, ya, Dam?"

"D-Damara sudah selesai, Pak. Makanya sambil menunggu waktu istirahat, Damara sedikit bermain ponsel."

"Boleh Bapak lihat?"

"Boleh, Pak. Silakan." Setelah itu, Damara membiarkan Sugiri duduk di kursinya dan melihat-lihat desain yang sudah Damara kerjakan.

Laki-laki itu nampaknya sedikit tertarik dan harus mengakui jika Damara memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang lebih hebat lagi jika diasah dengan benar. Sugiri mengembuskan napas panjang, lalu berdiri dan mengajak Damara untuk mengobrol di ruangannya. Sesampainya di sana, Sugiri dan Damara langsung duduk di kursi yang sama dengan beberapa air mineral kemasan gelas terletak di atas meja di depannya.

"Dam," panggil Sugiri.

"Iya, Pak?"

"Apa kamu marah ke Bapak?"

Damara tersenyum kecil, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak. Damara tidak marah."

"Lalu?"

"Kalau boleh jujur, Damara sedikit terkejut dengan pertanyaan Bapak dahulu."

Sugiri sempat tertawa kecil beberapa saat. "Bapak juga, Dam. Kalau boleh jujur, Bapak kagum sama kamu. Dari sekian banyak laki-laki yang datang ke saya, cuma kamu yang paling berani dengan saya."

"Maaf, Pak."

"Loh, maaf kenapa?" tanya Sugiri.

"Saya bersikap kurang sopan ke Bapak waktu itu."

Sugiri membulatkan sepasang matanya, lalu tertawa. Kali ini tawanya terdengar lepas dan lapang. "Dam ... Dam ...." Ia mengembuskan napas perlahan, "Sekarang Bapak mengerti kenapa Naya begitu bersikerasnya meminta Bapak untuk menerimamu."

"Naya berbicara seperti itu, Pak?"

"Ya. Ketika kamu Bapak suruh pulang, Naya terlihat begitu sakit menerima fakta jika kamu ditolak oleh Bapak. Tapi, itu semua demi kebaikan kalian berdua. Waktu kalian masih banyak. Bapak ingin, kalian tidak terburu-buru mengambil keputusan. Bapak bukannya tidak merestui kamu, Damara. Cuma memang, ini masih belumlah waktunya."

Mendengar pernyataan yang jauh di luar perkiraannya, Damara begitu terkejut sekaligus senang di saat yang bersamaan. Sial. Semesta, ini rumit sekali. Ini benar-benar rumit. Akan tetapi, laki-laki itu tidak bersuara sama sekali.

"Dam?" panggil Sugiri lagi.

"Ya, Pak?"

"Apa kamu masih ingat janji-janji kamu terhadap Bapak dahulu?"

Lalu, dengan lantang Damara menjawab, "Tentu saja, Pak. Damara mengingatnya. Tapi, Pak. Itu bukan cuma sekedar janji. Itu adalah pembuktian Damara untuk Bapak. Untuk Naya."

Kemudian, Sugiri tersenyum. Sial. Tekad laki-laki itu, sudah membuatnya kalah telak.

"Saya percaya, Dam. Kalau kebetulan ini bukanlah untuk sebuah kerjasama pekerjaan saja. Bapak sangat yakin jika ini adalah jalan kamu untuk membuktikan pembuktian kamu."

"Iya, Pak. Damara pun berpikir begitu."

"Dam ....."

"Iya, Pak?"

"Apa kamu masih ingin menjadi seorang arsitek?"

Dengan cepat, Damara mengangguk dan menjawab. "Damara ingin, Pak. Damara sangat ingin."

Sugiri mengembuskan napas lega, lalu mendekat dan mengusap lembut kepala Damara. "Kalau begitu, lakukanlah Dam. Lanjutkan pendidikanmu. Bapak akan membantumu."

"T-tapi, Pak. Untuk saat ini masih terlalu berat untuk Damara."

"Kamu tenang saja, Damara. Kamu tidak perlu banyak berpikir. Biar Bapak yang menyekolahkanmu sampai kamu sukses. Bapak sudah Tua, Nak. Bapak ingin ada yang meneruskan pekerjaan Bapak suatu saat nanti. Ini hadiah dari Bapak, Nak. Untuk calon menantu, Bapak."

Tanpa suara, tanpa bahasa, bapak dan anak itu saling jujur di dalam peluk hangat dari sebuah ketetapan yang berangsur baik-baik saja. Semuanya sudah mulai berjalan menemui kedamaiannya sendiri-sendiri. Semuanya sudah mulai tersenyum di dalam penerimaannya sendiri-sendiri. Tidak ada resah, tidak sama sekali.

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang