12. Demi Kebaikanmu

5 3 0
                                    

Malamnya Airini tak bisa tidur. Ia terus teringat akan pertemuannya dengan Abi tadi.    Setidaknya Airini perlu alasan yang jelas untuk pernyataan tak masuk akal Abi. Jika tidak ada anak perempuan, bagaimana keturunan desa ini akan berlanjut? Dan yang membuat Airini kesal adalah ini semacam tindakan diskriminasi terhadap kaum hawa. Banyak pertanyaan dalam benaknya yang ingin ia keluarkan, tapi kini semua itu hangus hanya karena jawaban singkat Abi.

Aku tidak tahu.

Jawaban yang meluncur dari mulut Abi kembali menaikkan tensinya. Airini menghembuskan napas kasar kala rasa penasarannya belum terjawab. Berbeda dengan malam-malam biasanya, jika ia tidak bisa tidur karena kepikiran sesuatu maka buku adalah pelariannya. Tapi kini tumpukan-tumpukan itu terbengkalai, tak lagi menarik minat mata dan fokusnya.

Airini membaringkan diri sembari menatap ke langit-langit. Memaksa benaknya untuk mereka ulang beberapa kejadian dan melempar dirinya ke masa silam.

Saat itu Airini masih berusia tujuh tahun, ia ingat persis ketika di antar oleh Tika. Ibunya memperkenalkan kamar kotak kardusnya itu dengan alasan sebagai hadiah ulang tahunnya ketika menginjak umur enam. Airini amat senang, ia bahagia. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Dalam benak kecilnya, kamar itu akan ia jadikan tempat ia bermain, menghabiskan waktu sembari menemani ibunya bekerja. Karena Airini cenderung cengeng ketika ditinggal Tika untuk bekerja ke gubuk.

Perlahan tapi pasti, kejanggalan demi kejanggalan terus berkelanjutan saat ibunya menyuruhnya untuk menginap disana. Dua tahun pertama, setiap malam ibunya selalu menemaninya tidur. Dalam ruangan terbatas itu, mereka sempit-sempitan. Saling membagi ruang hingga tak bisa dibagi lagi. Airini tidur dalam dekapan ibunya.

Hingga hari itu tiba, saat Airini berusia delapan tahun. Ibunya memutuskan untuk meninggalkan kotak kardus itu, seiring tubuh Airini yang kian tinggi dan berisi, mereka tak muat untuk ruangan terbatas itu lagi. Airini ditinggalkan. Sendirian. Ia tidur ditemani kegelapan dan keheningan tiap malamnya.

Airini amat bingung saat itu. Tak kuasa menahan diri, ia terus melayangkan protes dan menangis. Hampir berjam-jam ia menangis dan mengeluarkan raungannya, tapi yang ibunya katakan hanya 'Ini demi kebaikanmu'.

Tak tahu apa yang dipikirkan Tika hingga menyuruhnya menetap di tempat seperti itu melainkan rumah mereka sendiri. Walau Airini sudah menanggap nyaman tempat kecilnya itu, tapi gubuk hanyalah gubuk. Itu hanya sebatas gudang dalam sebuah gubuk.

Di sela tangisannya, Airini memutuskan untuk bertanya. Dialog sigkat itu ia simpan rapat-rapat dalam sudut ruang benaknya.

"Kenapa Airini gak boleh pulang sama ibu?" tangan kecil Airini mengusap pipi, hidungnya amat merah, matanya sembab dan ia cegukan.

Bu Tika berusaha mengembangkan senyumannya, tangannya terangkat dan mengelus puncak kepala Airini. Amat pelan.

"Ibu pengen Airini mandiri, ibu sudah menemanimu selama dua tahun, ibu rasa itu lebih dari cukup. Tenang saja, Ibu akan disini selama petang untuk bekerja."

Lewat belasan tahun, Airini melewatinya dengan berpegang teguh pada kalimat yang ibunya lontarkan. Demi kebaikanmu. Tanpa bertanya apapun, bukan melainkan ia paham tapi ia hanya tidak ingin. Dalam sirat rena ibunya, Airini tahu betul ada yang ibunya sembunyikan tapi tampaknya wanita itu tidak ingin memberitahunya. Membungkam bibir dan menahan diri, Airini melanjutkan hidupnya dalam kotak kardusnya itu.

Airini melanjutkan hari-harinya hanya di dalam kamar. Kian hari lewat, ibunya semakin ketat akan segala aktivitasnya. Bahkan perlahan Airini dilarang untuk berkeliaran di desa. Ia tidak masuk sekolah, jangkauan dunianya hanya sebatas kotak kardus dan toilet kumuh di gubuk.

Hingga suatu hari, tak ada ombak tak ada angin, ibunya bertanya kepadanya. Airini benar-benar terkejut semasa itu.

"Airini, kau tidak penasaran kenapa ibu menyuruhmu untuk tinggal disini dan tidak boleh keluar sama sekali?" atmosfer dan ekspresi ibunya amat persis saat menjawab pertanyaannya dulu. Ia tersenyum sambil mengelus puncak kepalanya. Airini merasa deja vu.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang