18. Penjara

5 2 0
                                    

Napas Abi tertahan pada ujung tenggorokan. Rasanya baru kemarin ia tinggal di desa Bunglon, menjalani harinya dengan tenteram sebagai seorang pemuda bebas. Sekarang, sedikit menunduk ke bawah, pergelangan tangannya sudah melingkar sebuah borgol besi. Ini terasa tak nyata bagi Abi, seperti mimpi panjang yang mengunci dirinya di dalam. Sayangnya, ia tak mampu untuk bangkit dan lebih tidak realistis lagi jika dirinya menginginkan putar balik waktu sekarang juga.

"Jawab aku," emosinya mulai tersulut lagi, Bayu menatap tajam ke arah Abi menunggu jawabannya.

Selagi kepalanya menunduk, menatap kedua kakinya di bawah meja, Abi berujar, "Aku mengakuinya. Itu bukan darah sungguhan melaninkan tinta sablon yang aku pinjam dari gubuk."

Tawa sumbang Bayu bergema, mengiringi atmosfer ketegangan kantor sore ini. Tidak percaya baru sekarang ia menyadari hal ini. Bayu terlalu fokus pada satu titik hingga melewati rincian perjalanan yang ia tempuh hingga sampai pada titik itu. Bayu ceroboh.

Kini dirinya dilanda kebingungan. Jika Abi sudah sekali tertangkap berbohong kepadanya, maka sampai mati pun Bayu tak akan bisa membenarkan ucapannya lagi. Alibinya sudah tak berbukti dan kepercayaan Bayu kepadanya menurun drastis.

Abi sontak mengangkat pandangan, tangannya sudah hendak terangkat sebelum tertahan karena kuncian borgol.

"Aku bisa menjelaskannya," dengan posisi tak nyamannya, Abi berujar cepat.

Cahyadi mengamati interaksi keduanya, renanya bergerak dari arah Abi kemudian berpindah ke Bayu. Bayu memijat pelipisnya yang terasa berdenyut dan melempar diri pada kursi, "Silahkan."

Abi menarik napas panjang dan mulai berbicara, "Sebenarnya, a...aku meminjamnya karena takut diinterogasi."

"Kenapa kau takut jika memang tidak bersalah? Kita akan melindungimu," timpal Bayu cepat, tak mengerti dengan jalan pikiran Abi yang nyatanya menghambat pekerjaannya.

"Aku takut akan dipenjara."

Bayu menatap lurus ke arah Abi, memaksa kedua rena pria itu untuk menatapnya balik.

"Kalau kau begitu takut akan dipenjara, kau seharusnya tidak berbohong kemarin. Ucapanmu sekarang tidak bisa dipercaya," jelas Bayu memberi tamparan yang cukup kuat bagi batin Abi.

Mengerahkan sisa-sisa keberanian, Abi kembali mengeluarkan pembelaan dirinya, "Aku sudah berucap jujur dan kalian masih memberiku borgol," lanjut Abi sambil menatap was-was ke arah Bayu, tahu betul kalimatnya akan memancing emosi pria itu. Lagi. Perasaan Abi terasa tak baik hari ini tapi ia tidak bisa mengurung niat untuk tidak mengatakan isi pikirannya.

"Kau berkata jujur setelah ketahuan berbohong atau bisa saja, kau berbohong lagi setelah ketahuan berbohong. Jadi nikmatilah malammu dibalik sel jeruji ini," melainkan Bayu yang menjawab malahan Cahyadi yang menarik aksi, mengeret paksa Abi untuk berdiri dan menyeretnya ke arah jeruji besi tepat di sudut pojok kantor. Dengan ruangan terbatas, hanya disiapkan satu jeruji disana.

Selama ini Cahyadi selalu menghabiskan waktu kerjanya dengan menatap kosong ke arah jeruji disusl buku novel detektif dalam pegangannya. Sekelibat memori manis dan mendebarkan itu masih tersimpan rapat dalam pikirannya. Kapan jeruji itu akan terisi? Kapan ia bisa melaksanakan misi seperti polisi pada umumnya? Dan hari itu tiba.

Abi meronta untuk dilepaskan tapi kekuatannya tak mampu bersaing dengan Cahyadi, ditambah Bayu yang kini ikut mendorongnya untuk masuk. Abi berteriak, meracaukan segala kalimat permohonan pengampunan. Bahkan menyumpahi mereka dengan sederet sumpah serapah tak kunjung memadamkan kekesalan hati, malahan pikirannya semakin kacau. Fisiknya lumpuh dan batinnya terguncang.

Bayu menarik kunci pada pintu jeruji dan melemparnya ke atas meja.

"Kejujuranmu adalah kuncinya jika kau ingin keluar," ujar Bayu sebagai peringatan terakhirnya.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang