Seminggu telah berlalu, semenjak kejadian malam itu dimana Emilly di sekap di ruang seminar sekolah saat sehari sebelum acara sertijab club Marching Band di Accio Education International School, yang tentu saja memberikan efek yang sangat mengerikan bagi para remaja itu Emilly, Sakha, Daniel, Adrian, Viona, Erland, Chandra, Gevan, bahkan Tiara
Mereka memiliki versi mengerikan tersendiri, Emilly yang memiliki trauma berat akan kegelapan, bahkan ini kali kedua ia di culik. Sakha, Daniel, Adrian, Erland, Gevan dan Chandra yang tidak berhasil menjaga Emilly dengan baik, bahkan Adrian yang mengalami luka trauma, dan Erland yang merasa di hianati oleh orang yang sekiranya ia sangat percayai. Tiara yang di hianati sahabat, Viona yang salah mengerti dengan orang – orang yang berada di sekitarmya, dan selalu merasa bersalah akan hal itu, bahkan ia mengikut sertakan kakaknya dalam rencananya ini.
"iyaa gue gapapa Lan.. lo gak usah khawatirin gue, udah ada papa sama mama disini. Ada Sakha sama yang lainnya juga. Gausah balik, udah ya gue tutup" Emilly menjauhkan ponsel yang ia genggam dari telinganya, hendak untuk memutuskan sambungannya
"iyaa – iya nanti gue bilangin mama, nanti gue kontrol lagi"
"yaya.."
"iyaaa Erland...."
"bye"
TUT!!
Emilly memutuskan sambungannya, semenjak 3 hari yang lalu Erland kembali ke Bandung, adiknya itu benar – benar hampir setiap saat menghubunginya, menanyakan kabarnya bahkan ia terkadang harus merelakan sambungan yang harusnya tersambung pada Sakha, di alihkan pada Erland. Adiknya benar – benar sehawatir itu.
Emilly menghela nafasnya, lalu menaruhkan ponselnya di meja
"nanti kontrol biar aku yang anter yaa??" bukan sebuah penawaran, tapi merupakan permintaan dari Sakha. Laki – laki itu kini berada di sofa ruang tamu rumah gadis itu.
"nggk usah, nanti katanya mama, ehh kayanya mereka berdua langsung yang mau nganter"
"apa gapapa? Mama papa kamu kan baru nyampe" tanya Sakha khawatir mengingat kedua orang tua itu baru saja sampai di Jakarta siang tadi, bahkan kini mereka sedang berisirahat sejenak di kamarnya.
"Khaa.. mereka aja sampe kesel sama Erland bahkan sama anak – anak yang lain karena gak di kabarin, mereka bahkan hampir laporin Viona sama Kara ke kantor polisi tadi" Emilly menggigit bibir bawahnya
"lalu, jadi di laporin?"
"enggk, aku bilang ini cuma salah paham, dan aku minta ke mereka buat gak manjangin masalah ini"
Sakha mengangguk – anggukkan kepalanya "kamu gimana? sekarang udah baikkan?" Sakha mengusap pucak kepala gadis itu
"malem – malem masih sering ngebayangin kejadian itu, atau mimpi buruk?"
Emilly mengulum bibirnya "terkadang, tapi udah lebih mendingan"
Sakha menghela nafasnya "Kenapa sih kamu selalu matiin telfon, kan aku udah bilang sleepcall ampe pagi gapapa"
"aku gak mau kamu kecapean, kamu loh kampir sepertiga waktu kamu buat aku. Kamu bahkan jarang ada di rumah sekarang, padahal ada Opa kamu disana. Masa kamu istirahat pun harus harus tetep khawatirin aku"
"wajar dong aku khawatir sama kamu"
"Aku cuma mau mastiin kalo kamu tidur dengan nyenyak"
"Milly, dengerin aku .." Sakha menggenggam tangan gadis itu, namun gadis itu malah melepaskannya lalu menggenggamnya balik
"Sayang, aku baik – baik aja kok"
BLUSH!
Tiba – tiba wajah laki – laki itu memerah, ketika gadis itu mengucapkan kalimat tersebut. Apa katanya tadi? Sayang?? sungguh ia masih belum terbiasa dengan panggilan tersebut. Selama kurang lebih satu minggu berpacaran ia masih sulit beradaptasi dengan panggilan itu. Oke tidak apa – apa jika ia yang mengucapkannya, namun jika gadis itu yang mengucapkannya. Sudahlah, siapapun tolong tarik tangannya agar tidak terbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not the Princess
Teen FictionKatanya aku seperti putri, namun aku bukanlah tuan putri Aku rasa aku bukanlah seorang putri, tapi ternyata aku memanglah putrinya