Tidak ada kejadian istimewa selama seminggu yang telah berlalu.
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore ketika Mentari masih berkutat dengan setumpuk berkas yang harus di fotokopi. Permata tidak ada di tempat karena mengambil ijin untuk pulang satu jam lebih cepat guna menjemput Nakula dari rumah sakit sekaligus berkonsultasi dengan dokter.
"Selesai!" bisiknya riang pada dirinya sendiri.
Mentari merasa bangga pada dirinya sendiri karena dapat menyelesaikan pekerjaanya sehingga tidak dapat menahan diri untuk bersenandung riang sambil menggoyang – goyangkan sedikit tangannya.
Tuk
"Eh!"
Mentari tidak sengaja menyenggol sekotak tempat pulpen di meja rekannya sehingga isinya berhamburan jatuh ke lantai. Terlihat ada satu pulpen yang menggelinding cukup jauh hingga mendekati pintu darurat di ruang staff ini. Buru – buru Mentari mengambilnya dari lantai namun suara dari balik pintu darurat yang tidak tertutup rapat ini membuat Mentari terpaku di tempatnya.
"Kamu harus mendekati Aditya– tidak, Pramana! Tidak peduli bagaimanapun caranya! Aditya adalah orang yang sombong dan sulit di tangani, sedangkan Pramana akan bersimpati padamu asalkan kamu memanfaatkan keadaan dengan baik," desis sebuah suara yang diketahui Mentari berjenis kelamin laki – laki.
Tidak ada sahutan dari siapapun lawan bicara laki – laki itu.
"Kamu berhutang banyak, Kanissa, ayahmu yang tolol itu tidak akan mampu membayarnya. Jadi kamulah yang harus bertanggung jawab,"
"–dia juga ayahmu.." akhirnya suara lirih terdengar, suara seorang perempuan yang sepertinya bernama Kanissa.
Lalu terdengan suara dug yang cukup keras. Seperti suara tubrukan punggung seseorang dengan dinding di belakangnya.
"Listen, Kanissa. Are you gonna do this or not?" suara laki – laki itu semakin mendesak.
"S-sakit, Kak," suara perempuan itu terdengar kesakitan.
"Don't call me Brother–!"
Mentari tidak dapat menahan diri lagi untuk mendengarnya, tapi terlalu takut untuk menyerbu masuk, sehingga pilihannya adalah lari ke area lobi lantai ini untuk memanggil sekuriti agar segera membantu perempuan tersebut. Naasnya, Mentari yang ceroboh menyundul kotak APAR yang berada di belakangnya sehingga langsung menyedot atensi dari dua orang yang berada di balik pintu darurat.
Sedetik kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok pria yang keluar dengan ekspresi wajah yang tidak dapat di baca. Mentari memejamkan matanya guna menetralkan detakan jantungnya yang seperti ingin copot dari tempatnya lalu dengan segera berdiri tegak sambil membungkuk hormat.
"S-sore, Pak," sapa Mentari kikuk.
Pria itu tersenyum manis. Terlihat nama 'Damian Adipati' di nametagnya. Mentari tidak dapat menghentikan gerakan matanya untuk kemudian menemukan jabatan direktur operasional di nametag tersebut.
Mati aku, cicit Mentari dalam hati.
Sesaat tanpa di sadari Mentari, Damian terpaku pada kepolosan wajahnya. Damian berpikir, perempuan ini tidak lebih cantik daripada perempuan – perempuan yang pernah singgah dalam hidupnya. Tapi apa yang membuatnya terpaku?
"Well, hello, little girl or should I call you.." Damian melirik nametag yang terpasang. "Mentari Wijaya, what brings you here?" kehalusan dalam nada Damian justru membuat Mentari semakin takut.
"P-pulpen, pak," Mentari menunjukkan pulpen di tangannya yang tadi dia pungut. "S-saya permisi dulu, Pak," setelah memberi sapaan hormat Mentari lalu segera pergi ke mejanya untuk mengambil tas dan kabur ke area lobi.
Semua gerakan Mentari tidak lepas dari pandangan Damian. Lalu pandangannya terjatuh pada jepitan rambut berbentuk pita kecil berwarna hitam yang teronggok di lantai tempat Mentari menyundul kotak APAR.
Sementara itu, perempuan yang diajak "mengobrol" oleh Damian, Kanissa Adipati, baru saja sampai di lantai dasar setelah menuruni tangga darurat dari lantai sembilan.
Nafasnya beradu dengan keringat yang bermunculan sebesar biji jagung dari pelipisnya. Dengan tangan gemetar, dia mendorong pintu darurat yang cukup berat dan akhirnya sampai di taman area terbuka dari kantornya.
Sejenak Kanissa terdiam untuk menarik nafas dengan rakus. Dia bukanlah orang yang menyukai olahraga, sehingga menuruni tangga sebanyak sembilan lantai dengan terburu – buru sambil menjaga dirinya agar tidak terguling adalah pekerjaan berat menurutnya.
Aku harus segera pulang, pikir Kanissa. Kakak tirinya bisa saja menyusul ke bawah dan kembali menekannya. Terimakasih kepada siapapun yang berada di balik pintu darurat tadi, semoga dia baik – baik saja terpegok oleh kakaknya.
Dengan pikiran berkecamuk, Kanissa lalu mengambil langkah cepat untuk meninggalkan area kantornya. Dia bahkan tidak sadar menyeberang di area lalu lintas mobil sampai suara klakson yang memekakkan telinga mengejutkannya.
TIN!
"A-astaga!" Kanissa terpaku di tengah – tengah lajur mobil dengan sebuah mobil hitam BMW yang berhenti tempat satu senti sebelum menyentuh lutut Kanissa.
Supir dari mobil tersebut langsung keluar dengan raut wajah khawatir. "Anda baik – baik saja, Non?"
Kanissa belum sempat menjawab karena masih syok. Kali ini giliran pintu dari kursi penumpang belakang yang terbuka dan keluarlah seseorang yang Kanissa tahu adalah bosnya dari divisi lain, Elang Ganendra. Sepupu dari direktur utama Ganendra Company.
Raut wajah Elang terlihat tidak bersahabat. "Kalau menyeberang itu pakai mata, kaki, dan otak! Jangan hanya pakai kaki!"
Kata – katanya sungguh sangat pedas, tapi Kanissa tidak dapat membalasnya karena memang ini kesalahannya yang tidak hati – hati.
"Saya sungguh minta maaf, Pak" Kanissa lalu membungkuk hormat tanda permintaan maafnya.
Elang hanya berdecak dan kembali masuk ke dalam mobil. Disusul oleh supirnya setelah berpamitan kepada Kanissa lewat tatapan mata. Tidak lama kemudian, mobil tersebut melaju dengan Kanissa yang masih terpaku di tempatnya.
Karena tidak mau membuang waktu, Kanissa melanjutkan langkahnya, kali ini dengan hati – hati. Seakan Kanissa sudah kehilangan semua tenaganya saat menuruni tangga tadi, Kanissa merasakan rasa lelah yang amat sangat dari dalam hatinya.
Seakan – akan ingin mengejek Kanissa, hujan lalu turun. Mula – mula hanya gerimis, lalu tiba – tiba kurang dari satu menit berubah menjadi deras. Kanissa masih menikmati langkahnya di tengah guyuran hujan tanpa menyadari seseorang, yaitu Elang, memperhatikan Kanissa dari balik kaca spion mobilnya.
---
TBC
Halo semuanya. Mohon maaf kemarin sabtu aku engga udpate karena sedang sakit. Syukur bukan covid, tapi sinusku yang kambuh (gatau harus sedih apa senang) mohon doanya semoga aku lekas sembuh ^^ Semua tulisan ini adalah murni dari imajinasi ku ya. Aku sadar karya ini masih banyak kekurangan. Mohon kritik dan sarannya yang membangun, terutama jangan lupa komen dan vote/lovenya supaya aku semakin semangat! Untuk tetap keep in touch dengan aku dan karya - karyaku, silahkan follow : wattpad, karyakarsa, dan IG ku juga ^^
Tolong budidayakan untuk tidak menjiplak dan menghargai karya orang lain sekecil apapun, ya! <3
Karyakarsa, Watppad, dan IG : @thebluemoon247
Terimakasih ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata Satu - Satunya (END)
Romance"Permata Satu - Satunya" : Aditya & Permata Ganendra Series #1 Permata merasa seperti hidup di dunia dongeng. Bertemu laki - laki yang tampan, kaya, dan sangat mencintainya seperti Aditya. Tidak pernah terbayang dalam khayalan terliarnya sekalipun...