11: DISUDUT KITA BERCERITA

441 72 50
                                    

Memasuki kelas sembilan yang berjalan begitu cepat, aku dengan na'as tidak sekelas kembali dengan Bone. Aku sekelas dengan Adul di kelas 9-b. Sedang Bone sekelas dengan Ikal dan Toma di kelas unggulan 9-a, lalu Jali ditinggal sendiri di kelas 9-c. Sedikit sedih sebab semua perjuanganku tidak membuahkan hasil, namun harapanku untuk kembali sekelas dengan Bone kembali terpacu dengan adanya pendalaman materi yang kelasnya akan diacak sesuai dengan nilai.

Aku kembali belajar dengan giat. Tidak jarang pula aku meminjam buku detik-detik, milik Adul lalu aku kerjakan dikertas terpisah. Uang tabunganku juga kuhabiskan untuk membeli buku detik-detik yang berbeda dengan Adul. Pengacakkan kelas terjadi pada akhir bulan dimana tiap akhir bulan selalu diadakan Try Out. Nilai awal Try Out-ku sudah cukup baik, tapi tidak membuatku bisa sekelas kembali dengan Bone.

Hal itu, membuatku belajar seakin giat lagi untuk menaikkan nilai TO-ku perlahan-lahan. Walau, tidak mendadak menaik, pada bulan keempat aku berhasil sekelas kembali dengan Bone. Perasaanku bahagia bukan kepalang, terlebih Bone yang memilih duduk disampingku, karena dari lima temanku hanya aku dan Bone yang memasuki kelas A. jangan ditanya seberapa cepat jantungku berdegub mengetahui Bone yang langsung tiba-tiba duduk disampingku.

"Oh, lo disini juga," kataku pura-pura tidak tahu.

"Lah, gue juga udah dari awal di kelas A," katanya jumawa.

"Sombongnya," sambutku membuat Bone terkekeh.

"Dodol banget Ikal, malah nurut mulu nilainya," katanya sebat sahabat sepermainannya sejak TK itu berpisah dengannya.

Aku memberengut, akhir-akhir ini Toma juga menurun nilainya, membuat kami selalu terpisah kelas ketika PM. Sebab masalah keluarga yang dihadapinya. Menjadi ekpetasi keluarga yang harus berprestasi dan nilainya tidak boleh turun. Aku yang mendengar curhatan Toma ikut mengiba, karena tidak tahu apa yang bisa kusampaikan maka aku menjadi pendengar setia Toma dan masalah keluarganya. Memendam masalah keluargaku sendiri, karena masalah keluarga Toma jauh lebih menyakitkan dari pada milikku.

"Lo tahu gak, Dek?" tanya Bone menyadarkan lamunanku.

"Apa?" tanyaku.

"Tapi lo jangan bilang siapa-siapa, ya," kata Bone sedikit berbisik.

"Apaan sih?" tanyaku semakin penasaran.

"Si Ikal 'kan suka sama Toma," ucap Bone.

Aku terkesiap. "Demi apa?!" kataku sedikit berteriak dan langsung disekap oleh Bone.

"Sttt," ucapnya menempelkan telunjuknya dibibirnya. "Jangan bacot," katanya lagi membuatku mengangguk dan Bone menurunkan tangannya yang menyekapku. "Makanya nilai Ikal turun soalnya Toma nilai Toma drop parah."

"Lo jangan bilang siap-siapa juga, ya," kataku pelan sedikit ragu. Mataku mentap mata Bone lamat-laman mencari keyakinan untuk mengungkapkan cerita padanya.

"Apaan sih?" tanya Bone penuh penasaran.

"Toma tuh lagi ada masalah keluarga, makanya nilai dia turun. Gue cukup kasihan deh."

"Goblok banget si Ikal, bukannya nyemangatin Toma malah ikutan jeblok nilainya."

Setelah itu kami bercakap-cakap panjang sampai akhirnya kelas dimulai. Jujur memerhatikan Bone yang sedang serius belajar membuat jantungku kembali berdegub tidak biasa. Mata fokusnya yang mentap papan tulis terlihat tajam dan cermat. Cukuplah membuatku kelu sepanjang pelajaran yang akhirnya aku tidak menangkap apa-apa di hari itu, karena rasanya pemandangan disebelahku jauh lebih memukau dengan pelajaran yang ada didepan mataku.

Lamunanku telalu jauh hingga aku merasakan duniaku melambat dan semuanya mengabur hanya sosok Bone yang memerhatikan pelajaran yang terlihat jelas di mataku. Aku lupa pada tempatku sendiri. Aku diperbodoh dengan perasaanku sendiri. Ironis.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang