13: DIKIT-DIKIT LAMA-LAMA MENJADI BUKIT

401 70 23
                                    

Pertemuan ganjil kami berikutnya terjadi ketika, ujian akhir sekolah akhirnya selesai dan sekolah pun mengadakan classmeeting, dimana perlombaan cabang olahraga diadakan. Dari sepak bola, volli, basket, ping-pong, tarik tambang dan bulu tangkis. Diadakan selama tiga hari sebelum pekan depan pembagian rapor semester pertama.

Biasanya kegiatan ini yang disibukkan adalah para kelompok OSIS, mereka yang berseliweran dengan jaket kebanggaan mereka. Hampir dari anak dikelasku mengikuti perlombaan yang terdaftar, sedangkan aku hanya bersedia menjadi tim hore saja. Jika ditanya kenapa? Aku terlalu malas untuk berolahraga, lagi pula sepatuku belakangan ini mulai terasa sempit, membuat kakiku sakit.

Sorak-sorak riang gembira dari kami para supporter menggelegar tiap kali teman sekelasku mencetak poin. Pada hari di siang hari kelasku melawan kelas senior. Mulanya, senyum kami baik para pemain maupu supporter membuncah, sampai si Birseh kakinya terkilir. Dia menepi dengan linangan air matanya, panitia menghentikan permainan untuk beberpa menit agar kami menentukan pemain cadangannya.

Kini kami semua kebingungan sebab tidak ada yang namanya pemain cadangan, sampai Adul berseru. “Adek bakal main, nih.” Dan oleh sebab ucapan Adul, teman-teman sekelasku yang menonton pertandingan basket ikut berseru menyorakki nama begitu semangat.

Aku memaki dalam hati tiada henti. Namun, bibirku hanya tersimpul senyum tipis serta gelengan kepala. Semakin kuat aku menggeleng semakin keras pula teman-temanku berseru namaku. ‘Sialan,’ umpatku dalam hati, hanya karena aku jauh lebih tinggi dari pada perempuan kebanyakan mereka menumbalkanku.

Akhirnya aku mengalah dan mengiyakan. Mengganti pakaian olahraga yang kusimpan dalam loker. Dengan berat hati, aku melangkah memasuki lapangan basket dan permainanpun berlanjut. Pertandingan basket berakhir dengan kelasku yang menjadi juara. Semua heboh menyerukan namaku. Beberapa teman perempuanku menepuk-nepuk pungguku dan beberapa dari mereka memelukku.

Dengan terseok-seok aku menepi, dituntun hingga di peluk tanganku oleh pemain basket putri lainnya yang dari kelasku. Kakiku lecet, terasa perih dan pedih. Namun, jika aku merintih sekarang, aku hanya akan mengacaukan kegembiraan kemenangan yamg kami buat. Dengan perasaan yang berserobok masuk, aku ikut tersenyum dan menikmati kebahagiaan tercipta.

Setelahnya, teman-temanku yang mengikuti lomba basket putri, mengajakku mengganti pakaian. Aku menggeleng, menolak secara halus karena masih ingin meluruskan kaki dalam kelas yang sepi. Aku duduk berselonjor meleseh dibelakang kelas yang telah ditinggal penghuni. Sampai kebas di betisku, kurasa reda sedikit aku melenggang keluar, karena pedih yang dicipta oleh kakiku yang terluka. Aku berjalan hingga tetatih, memengangi tembok-tembok kelas untuk sampai ke UKS.

Ditengah perjalanan aku duduk meleseh di lorong-lorong ruang guru. Aku melepas sepatu dan kaos kakiku yang membercak darah. Sementara kakiku pedih akibat lecet, sekujur betisku kembali kebas sebab tadi aku tidak melakukan pemanasan. Aku bahkan ragu untuk melanjutkan perjalananku ke UKS sendirian.

Napasku masih tersengal-sengal belum beraturan. Lalu kudengar suara teriakan-teriakan kegembiraan keluar begitu lantang dari lapangan sekolah. Cuaca cerah dan angin sepoi berhembus. Mentari bersinar bersamaan dengan langit biru yang tanpa awan. Cuaca yang indah dengan suasana yang ceria, tapi tidak dengan kakiku. Aku mendengkus. Lalu, tanpa kusadari, seseorang berdiri didepanku. Masih dengan tatapan gamangku, aku menangkap kakinya yang menghadapku, sampai pandanganku menaik, terus keatas dan keatas.

Aku terpaku.

Dan dia membatu.

Mata kami terpaut cukup lama, menyelaminya begitu dalam. Bola mata hitam bak jelaga yang tegas itu berhasil membuatku kelu seluruh tubuh dan hanya bisa membuatku terpana mendapati sosoknya yang melihatku yang cukup kacau. Lorong ruang guru memang sepi saat itu, tapi suara teriakkan siswa-siwi di lapangan berhasil menembus hingga sudut terpencil sekolah. Sayangnya lama-kelamaan suara-suara teriakan tersebut menghilang dan senyap dari telingaku kala dia yang membantuku membopongku menuju UKS.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang