“Jelek lagi?”
Gadis yang masih mengenakan seragamnya itu duduk sambil memeluk tasnya, matanya menatap ke segala arah tak mau diam, ke mana saja asalkan tidak menatap mata Bapaknya.
“Nak, ini sudah semester genap lho. Kamu tidak mau memperbaiki nilaimu?”
Tidak ada jawaban dari putrinya, membuat lelaki yang sudah berkepala tiga itu menjadi geram.
“Bu, anakmu sudah tidak mau berbicara dengan Bapaknya!”
Namanya Putri Riani Nadira Elvi Sangpotirat, gadis biasa seperti pada umumnya. Lahir dalam kondisi finansial normal dari pasangan Ny. Riani Bakung Andromeda dan Tn. Wijaya Sangpotirat.
Beberapa bulan lagi Dira Ujian Akhir Semester untuk kenaikan kelas sebelas, tetapi sampai hari ini Pak Wijaya belum juga melihat putrinya berkembang dan mendapatkan nilai yang cukup baik.
“Mau kamu apa sih Ra, biar kamu giat belajar?” Pak Wijaya mengambil secangkir kopi panas yang baru saja disuguhkan oleh istrinya, meniupnya pelan dan meminumnya.
“Nadira pengen punya pacar.”
Pak Wijaya tersedak kopinya sendiri, mengelap bibirnya yang terasa panas dengan selembar tissue.
“Masih kecil gak boleh pacaran, sekolah dulu yang pinter,” ucap Ibunya menimpali.
Dira kesal mendengarnya, dia pun mengambil lembar ulangan hariannya kemudian pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
“Dira, kamu tidak sopan meninggalkan orang tuamu yang belum selesai bicara!” Nada Pak Wijaya sedikit meninggi.
Dira menoleh menatap kedua orang tuanya kemudian menjawab, “Bapak sama Ibu gak pernah ngertiin perasaan Dira, gak boleh suka sama orang luar lah, ini lah, itu lah. Sekarang Dira pengen punya pacar, gak perlu pacar deh! Dira cukup butuh teman laki-laki.” Ucapan Dira mulai meninggi.
“Sadar gak sih, Bu, Pak. Kalian terlalu ngekang Dira! Khawatir itu wajar, tapi apa Dira benar-benar gak boleh berteman dengan laki-laki?”
Dira benci situasi ini, harusnya dia tidak boleh cengeng. Dira harus kuat mengutarakan pendapat bahkan pertanyaan yang selama ini selalu mengganggu pikirannya. Orang tuanya bersikeras melarangnya untuk berteman atau mengidolakan seorang laki-laki.
Kenapa? Pertanyaan yang sama selalu Dira lontarkan, tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan jawabannya.
Dira melanjutkan langkahnya, kini sedikit berlari sambil terus mengusap air matanya. Kedua orang tuanya menatap nanar kepergian Dira.
“Mungkin memang sudah saatnya kita membebaskan putri kita, Bu. Dia sudah remaja, alangkah baiknya jika kita menaruh kepercayaan padanya.”
“Lalu, apa itu artinya kita tidak lagi memakai aturannya, Pak?”
Pertanyaan dari istrinya membuat Pak Wijaya bungkam. Namun, tak lama kemudian dia mengangguk tanda setuju.
"Kita coba saja dulu, Buk."
Sementara di kamarnya, Dira menangis seraya memegang polaroid foto idolanya.
"Jaemin, bapak sama ibu jahat."
Terlalu sering bercerita, mengadu semua masalahnya kepada sebuah foto yang mulai terlihat kusam. Nadira hanya punya satu, itu pun disembunyikan dengan rapat. Dia tidak ingin orang tuanya tahu, kalau selama ini putri mereka sudah melanggar aturan di rumah ini.
"Jaemin, Dira pengen banget punya pacar, yang bisa jadi tempat cerita, Dira capek memendam semuanya sendiri."
"Kalau Jaemin punya NCT Dream, kenapa Dira gak bisa punya Boyfriend Dream. Enggak masalah kalau cuma mimpi, asal harus nyata."
Kembali terisak, Dira ketiduran setelah puas mengutarakan segala keluh kesahnya pada foto Jaemin.
Nadira akan terus berharap, sampai keinginannya dikabulkan. Entah lewat mimpi, atau dari sebuah kesengajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh dalam Ketidakpastian
Teen FictionDari Nadira untuk Danial. Sebanyak udara yang mampu dihirup, tujuan hidupku hanya dua, bersama Danial atau pulang ke pangkuan Tuhan.