Episode 3

7 0 0
                                    

Sudah hampir dua minggu sejak kembalinya Ilham ke Gunung Indah. Banyak yang berubah sejak kedatangan Oma dan cucunya itu. Keadaan di desa menjadi semakin bergairah. Rumah besar nah mewah satu-satunya di desa itu menjadi bersinar kembali karena penghuninya kembali menghuni, semakin bersinar di malam hari dengan lampu-lampu di halamannya yang terang.

Beben, Didit dan Lia yang awalnya tidak mengenali Ilham waktu itu akhirnya menyadari besoknya kalau si anak baru yang langsung menjadi idola cewek-cewek sekolah itu, yang awalnya terlihat sangat rese ternyata Ilham, teman kecilnya. Mereka heboh berlari ke kelas Ilham dan memeluknya erat, kecuali Lia yang hanya memukul punggung Ilham dengan buku tulisnya.

"Jahat kamu, Am! Bukannya langsung menyapa kita atau memperkenalkan diri, malah bikin kita kesal atuh," kata Lia memasang wajah kecewa.

"Ya sorry, Lia. Lagian, kalian juga jahat kok. Masa nggak bisa ngenalin temen sendiri. Kita kan pisahnya nggak berabad-abad juga," Ilham membela diri.

"Bukan begitu atuh. Kamu mah beda jauh dari si Ilham yang kita kenal dulu," kata Beben.

"Iya atuh. Sekarang kamu sudah tidak ingusan lagi. Sudah kasep!" Didit mengatakannya dengan penuh semangat.

"Ya masa gue ingusan terus sih, Di. Dasar, bego lo itu belum ilang-ilang ternyata!"

Beben dan Lia tertawa.

"Selamat datang kembali di gunung indah, Am," kata Lia dengan wajah senang.

"Makasih, Lia."

***

Anak-anak berhamburan keluar masjid dengan senyum dan canda tawa. Ada pula yang berlarian sambil meneriaki teman perempuannya. Dan berbagai macam tingkah kanak-kanak yang konyol lainnya.

Rahmat dan Fahri masih ada di dalam masjid. Sisa mereka murid yang masih belum pulang. Mereka sedang menunggu kakaknya untuk pulang bersama, Nilam dan Syahrul. Kebetulan kedua kakaknya itu berkesempatan mengajar mengaji hari ini, biasanya hanya salah satu dari mereka. Dan karena kedua kakaknya itulah mereka masih harus duduk diam di salah satu sudut di dalam masjid seperti orang bodoh, menunggu kakaknya yang mengobrol dengan Abah Akil, guru mengaji mereka, imam di masjid itu. .

Usia Abah Akil yang sudah kakek-kakek namun terlihat masih kuat dan sehat itu adalah sosok yang sangat dicintai oleh warga kampung di gunung indah. Dialah orang yang dituakan di kampung itu, yang selalu dimintai pendapatnya jika ada suatu masalah. Dan berkat dirinyalah, semua anak-anak di kampung itu bisa membaca Al-quran, termasuk abahnya Lia, Danang, Beben dan Didi. Juga ayahnya Ilham. Coba bayangkan, berapa kira-kira usia Abah Akil sekarang ini? Dia bahkan pernah mengajar orangtua dari anak-anak yang diajarinya saat ini. Juga orangtua dari anak-anak yang saat ini membantunya mengajar, selain Nilam dan Syahrul yang memang bukan asli Gunung Indah.

Rahmat dan Fahri saling berbisik, tidak peduli dengan obrolan Abah Akil dan anak-anak masjid 'julukan untuk remaja masjid di kampungnya'. Yang menjadi remaja masjid adalah anak-anak usia SMP sampai SMA, namun tidak semua yang mendapat kehormatan untuk mengajar mengaji, karena yang memilih adalah Abah Akil sendiri. Katanya, yang membantunya mengajar tidak boleh sembarangan orang.

Mereka menggerutu, seharusnya mereka sudah pulang bersama teman-temannya yang lain, jadi ada kesempatan untuk singgah bermain di rumah Ari atau di rumah Amrul sampai adzan magrib berkumandang. Tidak masalah , palingan kena omel sedikit dari bapaknya atau paling tidak kena cubitan panas dari tangan kakak perempuannya yang galak itu.

"Siapa nama cucunya ibu Danti itu? Abah lupa padahal dia pernah ke rumah sama Danang," Abah Akil masih berusaha mengingat. Dia sedang duduk bersila dan dikerumuni oleh Danang, Nilam, Lia, Syahrul, Beben, dan tiga orang gadis lainnya. Membentuk lingkaran. Ini rutinitas mereka setiap selesai mengajar.

LANGIT AMAT INDAH 'Keluarga, Persahabatan dan Percintaan'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang