17: PERJALANAN HIDUP

360 60 33
                                    

Memasuki kelas dua belas, aku disibukkan dengan rentetan tugas hingga ujian. Apa lagi ketika sudah memasuki semester dua, diamana ujian UTS, UAS dan Ujian Praktek di jadwalkan berentet. Belum lagi Try Out-Try Out yang akan berlangsung dan pendalaman materi yang akan menunjang otak kami untuk menempuh UN. Tidak sampai situ saja, kami masih ada tes unjian masuk perguruan tinggi jika tidak bisa lulus seleksi melewati jalur undang. Oleh sebab semua murid kelas 12 mendapat jalur undangan, kesematan lulus dari ter ujian tersebut terasa lebih sulit bagiku.

Aku tidak bisa mengandalkan sekolah saja untuk menempuh ujian masuk perguruan tinggi. Sebab soal yang di suguhkan tidaklah semudah Ujian Nasional. Maka dari itu, aku sedang mencari-cari tempat bimbingan belajar yang cukup berkompeten untuk membantuku soal ujian masuk perguruan tinggi nanti. Jika sudah mendapatkannya, barulah bisa kubahas hal ini baik-baik dengan Abah dan Ambu.

"Gue les di BTA, Dek," kata Adul memulai ceritanya.

Aku mengangguk membalik-balikan lembar buku pelajaran BTA, bola mataku membulat tiap kali aku melihat soal-soal tersebut.

"Enaknya, di BTA, tuh kita langsung di ajarin soal SBMPTN, Dek."

Aku mengangguk seraya menyimak dan tidak lepas dari soal-soal tersebut.


Adul menggeleng-geleng. "Gila, Dek. Soal SBMPTN susah banget, njir."

"Gue lihat soalnya aja pengin nangis," tambahku.

"Iya 'kan, kayak gak cukup gue kalau les pas semester dua, meding les dari awal semester biar lebih paham," jelasnya.

"Iya juga, ya. Mana mungkin soal sesusah ini bisa kita pelajarin dalam waktu enam bulan kurang."

"Iya 'kan. Makanya ayok, Dek, daftar mumpung masih buka, nanti kalau udah tutup lo daftarnya pas di semester dua."

Aku mengangguk, mendengar penuturan Adul mempromosikan tempat bimbingan belajar yang baru dimasukinya. Sampai tiba Adul menceritakan tentang biayanya, hatiku kembali terbesit. Apa orang tuaku mengizinkanku untuk mendaftar bimbingan disana, sedang biayanya tidak main-main.

"Kalau dari awal semester tujuh juta," kata Adul. "Kalau biasanya di tempat bimbel lain bukannya jauh lebih mahal, ya, Dek," ucap Adul lagi.

"Kalau di semester dua?" tanyaku.

"Lebih murah sih, tapi gue lupa persisinya berapa."

Oleh sebab itu, sekarang pada minggu yang cerah ini. Aku menyampaikan cerita tentang tampat bimbingan belajar di tempat Adul. Aku juga memberikan brosur, tentnag kelebihan-kelebihan tempat bimbingan belajar disana. Serta menyertakan penuturan bahwa tempat bimbel disana jauh lebih murah dari tempat-tempat bimbel yang lain. Ambu yang sedang mengupas bawang di meja makan ikut menimbrung menyimak ceritaku.

"Pinjam aja bukunya Adul, atuh teh," kata ambu enteng.

Aku mendengkus. "Yaa, kalau cuma minjem tapi gak diajarin buat apa? Tetap aja gak ngerti."

"Minta ajarin sama Adul atuh 'kan dia udah les dari kelas 11," kata Ambu lagi.

"Adul aja masih gak bisa nangkep pelajaran yang diajarin, mana bisa dia ngajarin aku," kataku ketus.

"Ya, soal yang susah menurut kamu minta Adul tanyain ke gurunya terus nanti Adul yang jelasin atau pas gurunya jelasin Adul vidieo-in," kata Abah bercanda tetapi di telingaku sama sekali tidak terdengar lucu. Malah emosiku tersulut.

"Kenapa sih, buat ngeluarin duit tiga juta aja untuk aku susah banget. Lagian ini juga buat masa depanku," kataku meloncat berdiri dan langsung melenggang pergi memasuki kamar.

Di dalam kamar pelupukku memanas mendekap boneka kelinci buatan sahabat-sahabatku lalu menangis dalam diam. Pilih kasih sekali, bahkan Abah tidak ragu untuk merogoh sakunya dengan harga mahal untuk membiayakan kuliah Aa. Namun, untukku mereka selalu berpikir dua kali. Sabar dulu, ingat tuhan itu selalu adil. Nanti ada jalannya. Aku merapalkan semua kata-kata itu dalam hati, tapi tetap saja, air mataku tetap meleleh.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang