Seorang wanita paruh baya tersenyum setelah membukakan pintu rumah untukku. Seperti sudah mengenalku, ia mengeluarkan senyum tulusnya. "Mencari tuan Jaemin ya?" Tebaknya membuatku mengangguk tak lupa seulas senyum yang kutampakkan, disusul dengan tanganku yang bersalaman dengan beliau.
"Tuan Jaemin menunggu nona dari tadi, nona Jiya ya?" Sepertinya Jaemin sangat dekat dengan wanita paruh baya ini. Beliau mengantarku menuju ke kamar Jaemin. Rumah ini sungguh luas, bersih, dan sepi. Tidak ada tanda - tanda kehidupan disini. Sebuah foto di pajang di ruang keluarga, menampakkan Jaemin sebagai anak tunggal. Wajah ayah dan ibunya juga sangat sempurna seperti dirinya, ternyata memang sudah bibit dari ibu dan ayahnya.
"Nona pasti bertanya - tanya siapa saya kan?" Pertanyaan tersebut meluncur lagi dari wanita paruh baya yang kini berjalan berdampingan denganku.
"Iya nona, saya..."
"Jangan panggil aku nona, panggil saja bibi. Hehe, aku Bibi Lim yang sejak kecil merawat Jaemin. Ayah dan ibunya memang sangat sibuk sehingga anak itu sangat kesepian, apalagi dia introvet sangat sulit bergaul."
Menyimak cerita bibi aku jadi merasa iba pada Jaemin. Tak lama kemudian kami sampai di sebuah kamar dengan pintu aestetik berwarna cokelat. Bibi Lim tersenyum sembari mengetuk pelan pintu Jaemin. Terdengar suara deheman yang membuat bulu kudukku merinding, itu benar - benar suara Jaemin.
"Jaemin, ada yang datang untukmu nak." Bibi tersenyum sembari menuntunku masuk ke dalam kamar Jaemin. Keadaannya sangat menyedihkan, bibirnya terlihat sangat pucat, tubuhnya mengurus dan ia tampak benar - benar tidak sehat. Jaemin tersenyum manis, sangat manis sungguh senyumannya sering membuatku mematung. Bibi Lim terkekeh, mengelus pundakku kemudian mengedipkan sebelah mata. "Bibi keluar dulu ya nona, permisi."
Membalas senyuman manis yang sedari tadi tidak luntur dari wajah pria tampan yang sedang menurun imunnya ini, aku berjalan pelan ke arahnya. Jaemin membuka tangannya lebar - lebar, membuatku tidak paham dengan maksudnya. Wajahnya merajuk seperti anak kecil meminta permen pada ibunya. Aku menggelengkan kepala.
"Oh ayolah Jiyaa, aku butuh pelukan." Pinta Jaemin membuka lebar kedua tangannya, aku meneguk saliva dengan susah payah. Menanggapi perkataan Jaemin dengan pikiran, mungkin dia sedang bercanda. Duduk di pinggiran ranjang king sizenya aku agak meringis mendengar suara ranjang itu, mengingat aku memang berat.
"Jiyaaa," pria itu menarik tanganku agar lebih dekat padanya. Aku menggelengkan kepala. "Nanti kasurnya jebol Jaem." Sebisa mungkin aku beralasan agar Jaemin tidak meminta yang aneh - aneh. Bisa dilihat dengusan kecil serta wajahnya yang amat kecewa karena aku menolaknya meski dengan bahasa lain. Menghela napas panjang akhirnya aku naik ke atas ranjang Jaemin, mendekat kepadanya kemudian merengkuh dirinya, mendekap badannya yang ramping namun terasa kuat ketika dirasakan. Badanku sempurna membalut tubuh Jaemin, karena sekekar - kekarnya Jaemin masih lebaran tubuhku. Terdengar suara kekehan dari dirinya. Semakin menenggelamkan wajahnya pada dekapan hangatku. Perlahan aku mengelus surai rambutnya yang lembut tapi tampak agak berantakan. Aku bisa merasakan dahinya yang masih panas, sepertinya Jaemin demam.
Perlahan senyumanku terbit sembari mempertahankan pelukan kami. Perlahan wajahku memerah dan rasanya perutku penuh seperti ada jutaan kupu - kupu berterbangan. Ini masih sekedar pelukan. Aku melebarkan mata kala Jaemin menekan pelukan kami sehingga posisi berubah menjadi tiduran di ranjang. Ia mendongakkan kepalanya, tersenyum manis seperti kelinci kecil yang memohon sesuatu.
"Jiya, aku merindukanmu." Suara berat Jaemin membuat tubuhku agak bergetar, sudah dipastikan jantungku bekerja berkali lipat dari biasanya. Aku takut suara debaran jantung ini sampai terdengar keluar.
"Hmmmm, aku tidak mau melepaskannya." Jaemin menolak saat aku hendak mengulur pelukannya. Tangannya sempurna melingkar di lingkar badanku, tangan Jaemin yang panjang bisa menjangkau tubuhku yang hampir selebar pohon.
Aku tertawa geli saat Jaemin menggesekkan kepalanya dalam dekapan dadaku, mencari kenyamanan lebih lagi. "Kau kenapa Jaemin?" Tanyaku sembari mengelus rambutnya dan sesekali menarik pelan karena gemas.
"Aku pusing, aku merindukanmu. Kukira kau tidak akan datang, aku hampir mati tadi."
Dengan pelan kubungkam bibir merah Jaemin. Aku menggelengkan kepala. " Jangan mengucapkan kalimat itu sembarangan, kau masih hidup dan harus segera sehat." Pria manis dengan wajah pucat itu mengangguk pelan kembali ia mendekapku lagi mencari kenyamanan lewat pelukan. Aku terkekeh gemas menerima tingkah manjanya.
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu, dengan pelan kulepas pelukan Jaemin namun pria itu menggeleng. Suara pintu terbuka disusul sebuah derap langkah yang semakin dekat ke arah kami.
"Jaemin belum makan dari tadi pagi, siapa tahu jika nona Jiya yang menyuapinya ia akan buka mulut." Menaruh sebuah nampan dengan pelan di atas meja sebelah ranjang Jaemin bibi Lim terkekeh sembari melirik Jaemin yang nyaman di dalam pelukan tubuhku, persis seperti anak kecil.
Ketika aku berniat mengambil makanan untuk Jaemin, ia masih bersikukuh mengeratkan pelukannya. Membuat bibi Lim tertawa gemas. Perlahan aku usap rambutnya, pria ini memang tidak bisa di kasari. "Jaemin, makan ya? Kau harus makan, agar kesehatanmu pulih."
Mendengar bujukanku Jaemin mengulur pelukannya, matanya menatap sorot mataku juga. "Tapi Jiya juga makan ya, kalau Jiya tidak makan Jaemin juga tidak mau makan." Perkataannya lolos membuat tawaku serta bibi Lim pecah, sungguh dia merengek seperti bocah umur 3 tahun. Jaemin, kau membuatku hampir kehilangan kewarasan tapi tenang karena nyatanya aku waras.
Bibi Lim tersenyum, berjalan keluar kamar setelah berpamitan untuk mematikan kompor di dapur. Sebuah sendok mendekat ke arah mulut Jaemin, dengan senang ia menerima suapanku. Sesekali memaksaku untuk makan juga seperti dirinya, padahal tadi dirumah seharian aku full makan. Fix sudah melar akan bertambah melar lagi.
Pupil Jaemin melebar kala pandangannya terhenti di pipi kiriku, sedikit mengelusnya Jaemin menatap sendu. "Kau baik - baik saja?" Aku bungkam tidak menjawab, hanya seulas senyuman kutampakkan disertai anggukan mencoba menyakinkan. Namun Jaemin menyipitkan matanya.
"Jangan bohong Jiya, apa semua gara - gara geng jadi jadian itu? Apa mereka menyakiti Jiya lagi?" Mataku terpejam, kala Jaemin menatapku dengan tajam seolah memaksaku untuk jujur. Masih bersikukuh untuk tidak jujur pada Jaemin aku menggelengkan kepala.
"Mereka tidak salah apa - apa Jaem, aku tadi hanya jatuh saat olahraga."
Pria berwajah sejuk itu menghela napas, mengulurkan tangannya ke arah nakas kemudian mengambil ponselnya.
Mataku melebar sempurna ketika Jaemin menunjukkan video dimana Winter dan teman - temannya tadi membullyku bersama - sama. Bahkan bisa dilihat jalanku yang sempoyongan karena semua wajah tersiram tepung. Mati - matian aku menahan tangis yang sudah di ujung pelupuk mata. Jaemin menarikku kembali ke dalam pelukannya.
"Menangislah, jangan ditahan."
Baru kali pertama, aku menangis dalam pelukan seorang pria. Aku takut, pada akhirnya aku terlalu jatuh cinta dengan seorang Na Jaemin. Aku takut jika pada akhirnya ia hanya akan meninggalkanku. Seperti teman-teman yang membenciku karena fisikku dan wajahku yang pas - pasan.
Are you sure?
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Sure? || FF NCT NA JAEMIN || END
FanfictionSetiap orang pasti memiliki cerita cinta, namun logis kah jika orang dengan fisik sepertiku menerima cinta dari seseorang dengan visual diatas rata - rata? Kim Jiya Na Jaemin 🐰 Are You Sure 🐰 ©RamadaniWna