5. Menikahlah Dengan Saya

910 47 5
                                    

Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.

Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.

Lalu, dia harus menerima semua perawatan mewah selama tiga minggu ini. Tak hanya dirinya, anaknya juga mendapatkan makanan enak setiap kali wanita itu menjenguknya. Dia tahu bahwa itu adalah bentuk balas budi Juwita kepadanya. Akan tetapi, ini semua berlebihan. Bahkan, dia saja hanya melawan para lelaki nakal itu dan menelepon polisi. Kehendak hatinya mengatakan bahwa dia harus membalas atau mengembalikan apa yang telah Juwita berikan kepadanya. Namun, melihat ekonomi dan keadaannya sekarang, dia rasa itu sangat berlebihan. Bahkan untuk membelikan Jevano makanan sehari-hari di rumah sakit saja dia harus berpikir panjang.

Astaga, rumit sekali hidupnya.

Kepalanya menunduk. Dia sangat sadar bahwa dia sendiri yang memilih untuk jalan hidupnya dan berakhir sedemikian rumit. Dia jadi teringat bahwa dia masih mempunyai tanggung jawab untuk membiayai Jevano setelah masuk SMA favorit pilihannya. Yang berarti dia sudah pasti harus lebih bekerja keras lagi.

Ya, bekerja keras. Karena dia juga tidak mempunyai pekerjaan tetap sekarang. Masalah dia bilang ke anaknya tentang dirinya yang dipromosikan dan akan pindah di kantor yang lebih besar hanyalah akal-akalanya saja. Dia terpaksa berbohong kepada Jevano agar anaknya tidak memikirkan dirinya dan bisa belajar dengan tenang.

Dia sangat ingat waktu itu. Di mana dia pulang lebih awal sambil membawa barang-barang pribadinya dari kantor ke kontrakan. Dia kaget saat melihat Jevano sudah ada di rumah padahal saat itu baru jam sepuluh pagi.

"Kok, Ayah udah pulang?" tanya Jevano.  "Kenapa bawa barang-barang juga?"

Jamal tersenyum, memperlihatkan kedua lesung pipinya. "Ayah harus beresin barang di kantor. Mau pindah soalnya."

Mata Jevano melebar. "Kenapa?"

Pria itu meletakkan barangnya di sebelah kursi dan duduk di sebelah anaknya yang sedang membaca buku. "Ayah dipromosikan. Jadi mau pindah kantor ke yang lebih besar."

Jevano mengangguk, mengiyakan saja apa yang dikatakan ayahnya.

"Kalau kamu? Kenapa udah pulang?" Dia membelai kepala anaknya.

"Guru-guru rapat, Yah. 'Kan, habis ini aku mau ada ujian akhir. Ayah lupa?"

Astaga, Jamal memang lupa. Pantas saja anaknya ini sudah di rumah.

Jevano tampak memikirkan sesuatu. "Hmm, Yah. Kata Bu Intan kurang aku doang yang belum bayar uang untuk spp bulan depan sekalian ujiannya."

Jamal mengangguk. Dia mengambil amplop yang ada di sakunya dan memberikannya kepada Jevano. "Bayar pakai ini, ya. Ayah juga lupa mau melunasinya kemarin."

Jevano menerima uang itu dengan senang. Meskipun dia tidak tahu menahu bahwasanya itu adalah pesangon terakhir yang didapatkan oleh ayahnya sebelum dipecat karena perusahaannya bangkrut.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang