: Warung kecil dalam tempat yang tidak demikian

148 77 13
                                    

gladiolamorly -

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

"Woi! Belum naik standarmu ¹beleng!"

Hadyan mengacungkan jempol, membenarkan standar motornya dengan sebelah kaki tanpa melihat wajah panjang pria yang sedarah dengannya itu, lantas melesat membelah udara hangat Sengkang pagi-pagi.

Semua komponen hidup, setengah hidup, setengah mati, dan benar-benar mati pada jalan yang ia lalui, seperti diberkati oleh cahaya misterius seiring roda motornya menjejaki tiap inci. Sebetulnya, langit di beberapa sudut di atas kepalanya masih kelabu. Tapi ayam-ayam serama Pak Haji Samad-sang peternak ulung termahsyur di kota ini akan serempak berkokok ketika melihat wajah berbinar Hadyan. Bukan tanpa alasan namanya diambil dari bahasa yang bukan dari bahasa Bugis seperti kakak laki-lakinya. Dia memang seperti matahari dengan dua kaki.

Giginya nampak dari balik kaca helm, menyapa sekilas tugu tanpa nama di pertigaan jalan. Jajaran kue-kue segar yang baru masuk ke dalam etalase, aroma manisnya dibawa angin, menyaingi ringannya debu.

Sengkang sudah dipenuhi manusia dengan berbagai macam keperluan yang datang dari berbagai macam tempat, baik dalam maupun luar kota. Dari angkot-angkot tanpa pintu belakang, Hadyan sudah tahu pasar sentral akan luar biasa ramai di Minggu pagi ini. Mobil bulat dengan warna mencolok yang pengemudinya sudah berdiri di pinggir jalan untuk mencari calon penumpang, berbaris rapi walau berada di tepi jalan.

Lalu pada taman kota yang Hadyan lalui pula, orang tua dan anak muda merajut semangat yang sama untuk bergerak memperpanjang masa hidup. Ia melebarkan senyumnya, sebab dengan berkeliling seperti ini dan melihat kotanya 'bangun' dengan segar seperti ini, itu sama seperti meminjam nyawa baru agar ia hidup lebih lama lagi. Pun, tujuan roda motornya berputar adalah untuk satu nyawa yang perlahan ia rajut agar semakin lekat di sisinya.

"Ayo bertualang lagi hari ini, Nawa!" Ucapnya bersemangat, sebagai sapaan pada gadis berambut pendek sebahu yang eksistensinya masih berupa berkas cahaya kecil di depan matanya. Barulah ketika wajah gadis itu tampak jelas seluruhnya, Hadyan mendapat balasan kontan dari sapaannya itu. Pukulan kecil di perutnya.

"Kamu berteriak terlalu kencang, tahu!" Nawa mengencangkan pengait helmnya, kemudian bertumpu pada injakan kaki untuk mantap naik di motor Hadyan. Namun sesaat sebelum kuda besi itu melesat, tangan rampingnya menepuk pundak Hadyan lantas berbisik, "Ikuti jejak saya?"

"Jejak petualang!"

***

Kali ini, untuk kali kedua. Nawa memijaki pasar terbesar di pusat kota. Namun, selalu ada pembeda jika sesuatu yang pernah pertama kali dilakukan, kembali diulang di hari lain. Maka, hari ini, yang menjadi pembedanya adalah tujuan mereka. Tentu saja, mayornya ialah mengambil jam tangan Nawa yang moga-moga benar sudah purna diisi ulang dayanya. Lalu tujuan minornya yang itu berarti bisa benar terealisasi atau bahkan tidak, adalah berkeliling sampai perut berbunyi.

Sengkang (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang